Jakarta, Aktual.co — Pedagang di sejumlah pasar tradisional dalam Kota Kupang mengeluhkan kebijakan penertiban pakaian bekas impor berdasarkan Surat edaran Kementerian Perdagangan beberapa waktu sebab larangan itu menghilangkan pendapatan mereka, karena menjual rombengan sudah menjadi lapangan pekerjaan.
Syahrir (40) penjual rombengan di Pasar Inpres Kelurahan Naikoten, Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT), Selasa (10/2), mengatakan larangan itu pasti akan berdampak pada penutupan belasan lapak rombengan di pasar itu telah meresahkan pedagang karena menghilangkan “piring-nasi” yang ditekuni setiap hari.
Ia mengatakan harusnya sebelum larangan itu diterbitkan sudah terlebih dahulu dilakukan sosialisasi kepada para pedagang, sehingga diketahui lebih awal dan melakukan antisipasi terlebih dahulu dengan aktivitas cadangan lain untuk mempertahankan hidup.
“Ini sepertinya kaget-kaget saja bagi pedagang pakaian jenis itu di daerah. Kalau pemerintah melarang siapkan modal untuk kami membuka usaha lain,” ujarnya.
Jadi menurut dia, harus ada solusi berupa jalan keluar bagi pedagang agar tidak mematikan usaha untuk mempertahankan hidup bersama keluarga.
Dia mengakui, sejak tahun 1986 berbisnis rombengan, namun belum ada komplain dari pembeli bahwa ada virus pada pakaian yang dijualnya. “Kalau ada virusnya, pasti virus itu sudah menyebar pada keluarga saya karena kami menggunakan pakaian-pakaian itu,” ujarnya.
Hayati Achmad (25) penjual lainnya mengatakan, isu virus itu sudah ada sejak dulu. Mengapa barang-barang tersebut bisa masuk. Lemahnya di mana, salahnya di mana,” tegasnya.
Karena toh hingga saat ini juga belum ada pengaduan dari konsumen yang selama ini membeli pakaian ini.
Dia berharap pemerintah meninjau kembali larangan itu dengan menyediakan alat pendeteksi. Jika ada virus langsung dimusnahkan. Jika tidak, biarlah pakaian bekas itu diimpor untuk mendukung perekonomian keluarga.
“Kita minta pemerintah meninjau ulang hal tersebut karena bisa mematikan usaha masyarakat kecil. Ya mohon lah ke pemerintah, kita kan disini punya anak dan istri lagian barang ini bukan barang haram kayak narkoba atau apalah. Selama ini juga nggak pernah ada komplain dari pembeli soal pakaian yang dibelinya,” katanya.
Selama ini juga katanya tidak pernah ada komplain dari pembeli soal pakaian, yang ada bahkan mereka balik lagi dan bilang puas dengan barang yang saya jual,” katanya.
Senada dengan Hayati, Idrus, seorang pedagang yang mengaku sudah berjualan selama 10 tahun mengatakan pemerintah seharusnya tidak melarang bisnis ini karena banyak sekali orang yang hidupnya bergantung pada bisnis pakaian impor bekas.
“Disini tuh dulu banyak copet, tapi setelah ada bisnis pakaian bekas impor mereka sekarang kerjanya ada yang jadi karyawan, ada yang jadi kuli, kan ini berdampak positif,” ungkapnya.
Mengenai adanya hasil penelitianyang mengatakan pakaian bekas impor mengandung bakteri dirinya tidak percaya.
“Kita para penjual adalah orang pertama yang kontak langsung dengan barang, kalau ada bakteri kitalah yang kena duluan, tapi buktinya 30 tahun saya jualan pakaian bekas import nggak pernah tuh kenapa-napa,” katanya.
Sebelumnya, Kepala Dinas Peridustrian dan Perdagangan Nusa Tenggara Timur (NTT), Bruno Kupok menyebutkan pakaian bekas impor mengandung bakteri yang bisa menyebabkan sakit kulit dan infeksi saluran kencing, sehingga warga diminta untuk waspada.
“Kami sudah melakukan koordinasi dengan instansi terkait untuk secepatnya melakukan penertiban di lokasi�lokasi penjualan pakaian bekas impor,” kata Bruno.
“Kita minta pemerintah melalui Kementerian Perdagangan menghimbau masyarakat untuk tidak membeli pakaian bekas impor, disinyalir pakaian tersebut mengandung bakteri yang dapat menganggu kesehatan,” katanya.

Artikel ini ditulis oleh: