Menteri BUMN Rini Soemarno (kanan) dan Menkeu Bambang Brodjonegoro (kiri) mengikuti rapat terbatas membahas masalah "dwelling time" dan tol laut yang dipimpin Presiden Joko Widodo di Kantor Presiden, Jakarta, Selasa (29/3). Rapat tersebut membahas pemangkasan waktu tunggu kapal bermuatan kontainer yang bersandar di pelabuhan, pembangunan pelabuhan komersil dan jalur tol laut yang menghubungan Indonesia Timur dan Barat, serta pemangkasan harga jual komoditi sebagai manfaat dari tol laut. ANTARA FOTO/Yudhi Mahatma/pd/16

Jakarta, Aktual.com – Pengelolaan BUMN di bawah Menteri BUMN Rini Soemarno sepertinya makin tak jelas mengedepankan aturan dan praktik tata kelola (governance) yang baik. Satu hal yang mudah dilihat adalah posisi komisaris BUMN yang rangkap jabatan dengan pejabat publik lainnya.

Beberapa pejabat eselon I dan II ramai-ramai duduk di kursi komisaris perusahaan pelat merah itu. Padahal secara aturan dilarang adanya rangkap jabatan itu.

“Sudah secara aturan juga dilarang, ditambah dari sisi kesibukan juga seorang dirjen itu tak bisa sembari memegang jabatan komisaris. Tidak akan fokus mereka,” tegas analis ekonomi politik Abdulrachim Kresno ketika dihubungi Aktual.com, Rabu (24/5).

Apalagi kemudian jika dilihat dari sisi penghasilan dan fasilitas yang didapat seorang eselon I itu sudah sangat besar, maka tak perlu lagi ada rangkap jabatan di BUMN.

“Jadi gaji mereka sudah besar kok. Makanya tidak layak kalau masih menjabat sebagai komisaris BUMN. Karena secara etika juga tidak patut. Karena ini ranahnya bukan mampu atau tak mampu,” jelas dia.

Secara regulasi, beberapa aturan yang melarang rangkap jabatan itu tertulis di UU Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara. Pada Pasal 23, disebutkan, melarang rangkap jabatan menteri sebagai pejabat negara lainnya, komisaris atau direksi perusahaan negara atau swasta, dan pimpinan organisasi yang sebagian atau seluruhnya dibiayai dari APBN dan/atau APBD.

Artikel ini ditulis oleh:

Eka