Jakarta, Aktual.com — Ketua Serikat Pekerja PT Jakarta International Container Terminal (JICT) Nova Hakim mendesak Presiden RI Joko Widodo untuk segera menghentikan upaya perpanjangan konsesi JICT kepada asing mengingat besarnya potensi kerugian negara yang akan timbul. Terlebih, proses perpanjangannya pun tidak dilakukan secara transparan dan terang-terangan melanggar undang-undang.
“Kami sudah sampaikan bukti-bukti pelanggaran undang-undang dan kerugian negara akibat perpanjangan konsesi JICT ke Pak Jokowi lewat Kepala Staf Presiden,” kata Nova dalam siaran persnya di Jakarta, Senin (27/7).
Nova pun mengungkapkan sejumlah kejanggalan dalam perpanjangan konsesi JICT yang dilakukan oleh Direktur Utama PT Pelindo II RJ Lino kepada Hutchison Port Holdings (HPH). Pertama, pelanggaran undang-undang dan Surat Menteri BUMN, sesuai UU Pelayaran 17/2008 (Pasal 82 dan 344 UU 17/2008) dan Surat Menteri BUMN No 318/MBU/6/2015 selaku pemegang saham menyatakan bahwa Pelindo II hanya sebagai operator sehingga pihak yang memiliki otoritas memberikan konsesi dan atau perpanjangannya adalah Kementerian Perhubungan. Dalam Surat Menteri BUMN juga dijelaskan bahwa Pelindo II harus memperhatikan aspek hukum terkait kuasa pengoperasian dalam hal ini dipegang oleh Kementrian Perhubungan.
“Namun Dirut Pelindo II RJ Lino abai dan manuver ke Kejaksaan untuk minta opini. Celakanya Opini Kejaksaan ini mau diadu dengan undang-undang,” ungkap Nova.
Kedua, kata dia, perpanjangan konsesi ini juga sangat berpotensi merugikan Negara. Perpanjangan JICT dilakukan terburu-buru 5 tahun sebelum kontrak 1999 berakhir. Selain itu, rendahnya penjualan JICT tahun 2015 sebesar USD 215 juta, dibanding tahun 1999 sebesar USD 243 juta ditegaskan Financial Research Institute (FRI), konsultan independen yang ditunjuk Dewan Komisaris Pelindo II.
“Dari Deutsch Bank yang menjadi Financial Advisor Pelindo II, memberikan valuasi awal sebesar USD 639 juta, FRI memverifikasi nilai JICT seharusnya USD 854 juta dan Hutchison dengan USD 215 juta hanya berhak memiliki 25,2% saham bukan 49%. Selain itu nilai penjualan JICT USD 215 juta setara dengan keuntungan JICT selama 2 tahun,” terang dia.
Terakhir, Sambung Nova, JICT merupakan aset strategis RI yang layak dikelola secara mandiri. Selama 16 tahun JICT beroperasi, pelabuhan petikemas terbesar di Indonesia ini telah dikelola murni anak bangsa. Untuk itu secara kemampuan serta teknologi pelabuhan sudah sangat memadai.
Dikatakannya, JICT juga adalah perusahaan yang sangat menguntungkan dimana memiliki pendapatan gemilang pada tahun 2013 sebesar USD 280 juta. Bahkan JICT 5 tahun terakhir mendapatkan penghargaan sebagai pelabuhan petikemas terbaik di Indonesia dan Asia.
“Selama ini JICT sendiri yang mendatangkan kapal-kapal. Selama ada volume cargo, maka kapal-kapal dengan sendirinya akan datang ke JICT bukan karena faktor kehadiran terminal global. Untuk itu demi kemandirian nasional dan keuntungan bagi Republik Indonesia, perpanjangan JICT kepada asing tidak diperlukan lagi,” tutupnya.
Artikel ini ditulis oleh:
Eka