Surabaya, Aktual.com – Rencana Menteri Perhubungan Ignatius Jonan, akan mengubah 17 Unit Penyelenggara Pelabuhan (UPP) menjadi Badan Layanan Umum (BLU) diapresiasi baik bagi pelaku usaha pelayaran. Asalkan, hal itu juga diimbangi peningkatan pelayanan.

“Kemarin (Kamis, 4/2) Pak Jonan, mengupayakan mengubah UPP menjadi BLU. Diharapkan upaya itu bisa meningkatkan pelayanan pelabuhan, dan dapat mendukung keinginan pemerintah mewujudkan tol laut,” ujar salah satu pengusaha pelayaran yang menjabat sebagai Ketua Masyarakat Maritim Jawa Timur, Lukman Ladjoni di Surabaya, Jumat (5/2).

Tetapi, lanjut Ladjoni, istilah Tol Laut hendaknya tidak dimaknai secara sederhana. Masih banyak persoalan terkait transportasi laut yang perlu segera ditangani.

Persoalannya, kata Ladjoni, bukan hanya fasilitas. Aspek sumber daya manusia juga penting. Jika BLU tidak diikuti perubahan mental dan budaya kerja SDM di masing-masing unit, maka yang terjadi nantinya bukan kualitas layanan yang diutamakan, tapi target pendapatan yang dikejar.

Begitu juga kualitas SDM di tingkat Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan (KSOP) –terutama di level pimpinan. Penunjukan pejabat di KSOP harus mempertimbangkan aspek profesionalitas. Namun yang terjadi, pimpinan di KSOP mudah copot-lantik jabatan.

“Jadi pengangkatan KSOP terkesan main tunjuk seenaknya atas dasar like and dislike atau siapa yang menguntungkan dan siapa yang tidak menguntungkan. Pola ini harus dihindari, karena dampaknya tidak baik di lapangan. Coba sekarang, kenapa dirjen laut yang sudah tersangka setahun lalu belum juga dicopot dari jabatannya. Makanya sepertinya pak Ignatius tidak paham yang dimaksud dengan istilah tol laut. Dia hanya memahami secara sepenggal saja,” kata Ladjoni.

Selama ini, kata Ladjoni, pelaku usaha banyak menanggung biaya akibat tidak adanya prioritas kebijakan dari pemerintah dalam menyelesaikan aneka persoalan. Misalnya dwelling time yang terkadang sampai berhari-hari, tarif Terminal Handling Charge (THC) yang tidak murah, dan antrian pemeriksaan Bea & Cukai yang memakan waktu lama.
Semua itu berkonsekwensi pada biaya yang menjadi beban pengusaha.

Belum lagi antrian sandar kapal. Setiap keterlambatan sandar selalu berdampak pada biaya, baik biaya BBM, operasional, maupun akomodasi ABK. Padahal, di luar itu, pelayaran sudah banyak mengeluarkan biaya untuk jasa tambat labuh, jasa pandu, jasa rambu, dan lainnya.

“Ketika kapal sudah telat dari schedule-nya, maka akan ada biaya tambahan yang timbul, seperti harus berlayar lebih cepat sehingga membutuhkan fuel yang lebih banyak. Ini pelabuhan yang bertele, tapi pelayaran yang terkena dampaknya. Ini juga bagian dari logistic cost,” tutur Ladjoni.

Semua proses yang bertele itu, kata Ladjoni, berkonsekwensi kepada biaya, sehingga daya saing perusahaan pelayaran nasional makin lemah. Nah, ketika memasuki Masyarakat Ekonomi Asean, sudah pasti pelayaran nasional tidak mampu bersaing melawan perusahaan pelayaran asing.

“Kementerian Perhubungan harus lebih cermat dalam memilih prioritas kebijakan, jika menginginkan makna Tol Laut bisa terwujud secara nyata. Pelayaran itu adalah infrastruktur di laut. Penguatan terhadap pelayaran nasional urgen untuk dilakukan,” tegas Ladjoni.

Artikel ini ditulis oleh: