Presiden Joko Widodo (kiri) berdiskusi dengan Wapres Jusuf Kalla (kanan) saat memimpin acara peresmian penutupan Musyawarah Rencana Pengembangan Nasional (Musrenbangnas) Tahun 2016 di Istana Negara, Jakarta, Rabu (11/5). Presiden mengingatkan kepada Kepala Daerah agar fokus dalam perencanaan dan pelaksanaan program kerja, cermat dalam pengelolaan APBN dan APBD, peningkatan mutu potensi daerah, diferensiasi pengembangan daerah agar berdampak nyata bagi masyarakat dari tingkat bawah hingga tingkat nasional. ANTARA FOTO/Yudhi Mahatma/foc/16.

Jakarta, Aktual.com — Publik tahu bahwa arena Musyawarah Nasional Luar Biasa (Munaslub) Partai Golkar yang digelar di Bali adalah pertarungan dua kubu besar yang ada di partai berlambang pohon beringin tersebut.

Kedua kubu tersebut saat ini sama-sama berada di pemerintahan, namun berebut pengaruh di depan Presiden Joko Widodo dan berebut kekuasaan di Istana.

Kedua kubu itu sebagaimana dipahami publik adalah kubu Wakil Presiden Jusuf Kalla dan kubu Menko Polhukam Luhut Binsar Pandjaitan. Dua tokoh senior Partai Golkar yang sedari awal mengambil sikap berbeda dengan partai secara institusi.

Demikian disampaikan pengamat politik Universitas Diponegoro (Undip) Semarang, Hasyim Asyari, saat dihubungi Aktual.com, Kamis (19/5), mengenai gelaran Munaslub memenangkan Setya Novanto sebagai Ketum Golkar.

“Golkar kan ada kubu, ada kubu JK ada kubu Luhut. Kalau misalnya kemudian Golkar masuk dalam kabinet, pertanyaannya Golkar kubu JK atau Golkar kubu Luhut?,” ucapnya.

Diungkapkan Hasyim, dalam gelaran Munaslub Golkar di Bali kedua tokoh senior tersebut diketahui sangat terang berbeda sikap terkait arah kepemimpinan Golkar ke depan. Jusuf Kalla berada pada Ade Komaruddin, sementara Luhut berada pada Setya Novanto.

JK bahkan tidak segan-segan menunjukkan sikap atau setidaknya memberikan sinyal ketidaksetujuannya terhadap sikap Luhut yang mendukung Novanto. Di sisi lain, Luhut menanggapinya dengan santai perihal dukungannya kepada Novanto.

Yang menarik, lanjut Hasyim, ada kesan Presiden Joko Widodo ‘menugaskan’ Luhut untuk mengamankan Munaslub dengan memenangkan Novanto sebagai Ketum. Presiden disebutnya mempunyai pertimbangan tertentu mengambil sikap demikian.

“Terkesan ada penugasan Luhut untuk ikut cawe-cawe Munaslub, itu dalam rangka agar pengaruh Golkar JK tidak terlalu besar dalam pemerintahan,” jelasnya.

Hasyim lantas menyinggung ‘pertarungan demi pertarungan’ yang tersaji dalam berbagai kebijakan pemerintah. Soal Blok Masela misalnya, Jokowi mengambil sikap tegas dengan mengakomodir usulan Menko Maritim Rizal Ramli dibandingkan usulan Menteri ESDM Sudirman Said yang dibelakangnya disokong Wapres Jusuf Kalla.

Hal itu dilakukan Jokowi untuk mengantisipasi besarnya pengaruh JK di pemerintahan. Presiden dengan jeli memasukkan nama Rizal Ramli pada reshuffle Kabinet Jilid I dalam rangka mengantisipasi besarnya pengaruh JK dimaksud.

“Sering orang melihat, Blok Masela, apakah di darat atau di laut, itu dianggap pertarungan dua kubu. Rizal Ramli didarat, Sudirman Sair ESDM dilaut. Ternyata Jokowi ambil keputusan di darat, menghadang langkah menteri-menteri yang berkubu pada JK,” kata Hasyim.

“Jangan melihat Pak Jokowi awam politik. Dia itu berangkat dari CEO sebuah perusahaan, dia pasti punya strategi. Semua informasi yang diperoleh diolah untuk kemudian dijadikan dasar dalam mengambil keputusan,” sambungnya.

Artikel ini ditulis oleh:

Nebby