Yudi Latif
Yudi Latif

Dalam agama cinta (rahman-rahim), kebenaran dan keadilan tak mengenal penganut dan bukan penganut. Cinta memeluk semuanya. Warga bangsa boleh berbeda keyakinan, tapi cinta menyatukannya. Kekuatan mencintai dengan melampuai perbedaan inilah yang melahirkan pelangi Indonesia indah.

Harmoni dalam kemajemukan adalah cetakan dasar bangsa ini. Berbilang bangsa dalam zona keseragaman terguncang hadapi globalisasi keragaman. Bahkan bangsa maju kembali mengeja multikulturalisme secara tergagap. Tak sedikit gagal, berujung populisme dengan supremasi tribalisme anti-asing, anti-perbedaan.

Berutung, Indonesia banyak makan asam garam. Bangsa maritim di tengah persilangan arus manusia dan peradaban dunia, terbiasa menerima perbedaan. Jauh sbelum merdeka, para pemuda lintas etnis dan agama sudah menemukan penyebut bersama dalam keragaman bangsa. Saat dasar negara dan konstitusi Indonesia dirumuskan, perwakilan berbagai golongan terwakili, menghadirkan negara semua buat semua.

Dalam napak tilas refleksi diri bisa kita kenali hidup religius dengan kerelaan menerima keragaman telah lama diterima sebagai kewajaran oleh penduduk negeri ini. Sejak zaman Majapahit, doktrin agama sipil untuk mensenyawakan keragaman keagamaan telah diformulasikan oleh Mpu Tantular dalam Sutasoma, “Bhineka Tunggal ika tan Hana Dharma Mangrwa.”

Islam Indonesia sendiri, yang sejauh ini dianut sebagian besar penduduk, kendatipun—seperti agama lainnya—tak luput dari sejarah kekerasan, dalam sapuan besarnya didominasi warna kedamaian dan toleransi kuat. Meskipun doktrin dan mazhab radikal memang selalu ada, tetapi pengaruhnya relatif terbatas dan dilunakkan oleh ragam ekspresi komunitas Islam dan kehadiran ragam agama.

Clifford Geertz melukiskan etos klasik Islam kepulauan ini bersifat menyerap, adaptif, gradualistik, estetik dan toleran. Dengan begitu terbuka lebar kemungkinan untuk melampaui perbedaan religio-kultural, memperlunak perbedaan itu dan menjadikannya pada batas toleransi yang memberi prakondisi kesiapan bekerjasama lintas kultural.

Modal sosial terpenting bangsa ini terlalu berharga untuk dikorbankan demi ambisi elit politik. Mari kita jaga dengan memperluas jaring interaksi dan kesetaraan dengan semangat bersatu dan berbagi.

Yudi Latif

Artikel ini ditulis oleh:

As'ad Syamsul Abidin