Jakarta, Aktual.com — Anggota Pansus Pelindo II DPR Sukur Nababan mengatakan kontrak kerja sama PT Pelindo II dengan Hutchinson Port Holding dalam pengelolaan Terminal Peti Kemas Jakarta apabila dilanjutkan hingga 2038, maka berpotensi rugikan negara mencapai Rp20-30 triliun.
“Perjanjian perpanjangan kontrak pengelolaan JICT antara Pelindo II dan HPH jelas melanggar UU. Kontrak itu diteken sepihak tanpa persetujuan Pemerintah padahal disyaratkan UU,” kata Sukur, di Jatinangor, Sabtu (21/11).
Dia menyindir pernyataan Dirut Pelindo II RJ Lino yang mengklaim perusahaan BUMN itu dan Indonesia diuntungkan dengan perpanjangan kontrak dengan HPH dari 2014 hingga 2038.
Sukur menjelaskan, di kontrak pertama yang berlaku 1999-2019, HPH mengelola JICT dengan mendapatkan saham 51 persen, ‘fee technical know how’ dan dividen.
“Sementara Pelindo II mendapatkan jatah saham 48,9 persen, dan 0,1 persen bagian Koperasi Karyawan,” ujarnya.
Politikus PDIP itu menjelaskan, seharusnya pada 2019, kontrak habis dan JICT menjadi 100 persen dimiliki Pemerintah Indonesia melalui PT Pelindo II. Namun, secara diam-diam dan sepihak kontrak diperpanjang pada 2014, dengan durasi hingga 2038.
Menurut dia, diperjanjian kedua itu, kepemilikan saham HPH adalah 49 persen, dan Pemerintah Indonesia melalui Pelindo II adalah 51 persen.
“Lalu sistem royalti diganti sewa 85 juta dolar AS pertahun, dan fee technical know how dihilangkan, Pelindo II mendapatkan 215 juta dolar AS di depan,” katanya.
Menurut dia, hal itu saja sudah mudah dihitung, kehilangan HPH adalah kepemilikan saham selama sisa kontrak 2014 sampai 2019, 51 persen dikurangi 49 persen, yakni 2 persen. Angka dua persen dikali lima tahun, HPH kehilangan 10 persen namun dengan perpanjangan kontrak sampai 2038, HPH dapat 49 persen.
“Dari perpanjangan kontrak sampai 2038 itu, HPH dapat 882 persen. Dikurangi rugi 10 persen tadi, dia untung 872 persen, nilainya itu cuma 215 juta dolar AS dan itu yang dibanggakan oleh Lino,” katanya.
Dia menjelaskan, tabir itu mulai terbuka ketika Pansus Pelindo memanggil konsultan keuangan yang dipakai Pelindo II untuk membuat valuasi dan penawaran JICT ke HPH.
Sukur mencontohkan Deutsche Bank (DB), yang belakangan mengaku kepada Pansus bahwa HPH adalah klien lama mereka.
“Dari data-data yang masuk ke Pansus, ditemukan bahwa ada komponen biaya operasional. Asumsi biaya operasional, artinya harus ada sejarah operasional JICT selama 10 tahun,” katanya.
Dari dokumen, diketahui komponen biaya operasional JICT itu di kisaran 55-63 persen. Namun, dalam valuasi oleh DB, komponen itu naik jadi 78 persen.
“Kenapa dinaikkan agar untung perusahaan menjadi rendah, tujuan akhirnya agar nilai saham rendah, sehingga HPH membeli JICT dengan harga murah, itu financial engineering,” ujarnya.
Metode kedua, yang digunakan DB untuk semakin merendahkan nilai JICT adalah dengan membuat debt performa, yakni seakan-akan JICT akan memiliki utang masa depan.
Dia menjelaskan, tujuannya itu agar nilai saham makin jatuh lagi jadi sudah dirampok di asumsi biaya operasional, dirampok lagi di debt performa.
“Mereka buat seolah-olah utang JICT diprediksi 30 persen di masa depan. Padahal JICT itu, kalau dilihat sejarahnya sejak 1999 sampai 2014 tidak memiliki utang dan “Capital Expenditure” saja selalu dari uang sendiri, tidak pernah mengutang,” ujarnya.
akibat permainan itu maka HPH hanya menyetor 215 juta dolar AS untuk nilai saham Pemerintah di JICT sebesar 49 persen. Ketika Pansus memanggil pihak DB, diketahui bahwa Pelindo II baru menjadi klien mereka sejak Juli 2013.
“Sementara dia (DB) mengaku HPH itu klien lama padahal kenal Pelindo II sejak Juli 2013. Mereka ditugaskan Pelindo untuk bikin valuasi JICT untuk ditawarkan ke HPH, berarti mereka (DB) kerja untuk siapa,” katanya.
Dijelaskan, salah satu komisaris Pelindo II, saat valuasi DB dikeluarkan, mencium aroma tidak sedap sehingga memanggil Financial Research Institute (FRI) untuk melakukan penghitungan ulang. Setelah itu, keluar hasilnya bahwa harga 215 juta dolar AS itu hanya setara 25 persen nilai saham JICT, bukan 49 persen.
Dia mengatakan, potensi kerugiaan negara, kalau dipakai kontrak versi DB lebih dari Rp20 triliun dan apabila menggunakan versi data histori pendapatan asli JICT sesuai audit keuangan, kerugian bisa RP30 triliun.
Artikel ini ditulis oleh: