Suasana bongkar muat peti kemas di JICT sepi

Jakarta, Aktual.com — Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI menilai bahwa keputusan Direktur Utama PT Pelindo II (Persero) RJ Lino memperpanjang konsesi pengelolaan terminal peti kemas di Tanjung Priok kepada Hutchison Port Holding (HPH) mengandung unsur melanggar Undang-Undang (UU) nomor 17 tahun 2008 tentang pelayaran karena telah mengabaikan otoritas pemerintah di pelabuhan sebagai regulator sebelum memberi konsesi kepada kepada pihak swasta.

Ketua Komisi VI DPR RI, Ahmad Hafisz Tohir mengatakan, UU Nomor 17/2008 pasal 82 dan dalam ketentuan peralihan pasal 344 menyebutkan bahwa dalam perpanjangan konsesi dengan swasta atau asing, PT Pelabuhan Indonesia (Pelindo II) harus membuat kontrak dengan pemerintah melalui Otoritas Pelabuhan. Setelah itu, baru bisa memperpanjang konsesi perpanjangn kontrak JICT.

“Menteri Perhubungan saudara Jonan sudah menyatakan menolak tapi RJ Lino tetap ngotot dengan alasan Jamdatun Kejagung membolehkan dalam pendapat hukumnya,” kata Hafisz kepada Aktual di Jakarta, Kamis (17/9) malam.

Di sisi lain, lanjut Hafisz, saat  terminal peti kemas Tanjung Priok di kelola HPH pada 1999, HPH membayar sebesar USD 243 juta. “Sekarang HPH membayar USD 215 untuk masa kontrak 20 tahun. Secara Logika apabila ada perpanjangan  harusnya lebih mahal dengan yang lalu, tidak malah lebih lebih murah seperti ini,” ujar dia.

Ia menambahkan, untuk itu Panja Komisi VI DPR akan memanggil semua pihak-pihak terkait dan instansi yang sudah di sebut-sebut namanya oleh RJ Lino dalam rapat Panja Pelindo pada Rabu (16/9) lalu. Bahkan, apabila diperlukan maka Panja Komisi VI akan langsung mengunjungi HPH di Hongkong untuk mendalami semuanya.

“Bila terbukti kebijakan Pelindo memperpanjang konsesi JICT ini melanggar UU termasuk PP 61 tahun 2009 tentang kepelabuhanan maka komisi VI untuk merekomendasikan kebijakan ini untuk di batalkan,” ungkapnya.

Dirinya meyakini jika anak bangsa Indonesia sendiri sanggup untuk mengelola pelabuhan Tanjung Priok tanpa campur tangan asing. Ditegaskannya bahwa ini tentang kedaulatan negara, 70 persen jalur distribusi perekonomian RI ada di Pelabuhan Tanjung Priok sehingga jangan sampai perpanjangan ini hanya menjadi motif berbagi keuntungan dengan HPh.

“Panja Pelindo II akan berusaha mengusut berbagai keanehan yang terjadi mulai kerugian pengadaan crane, hingga dugaan nepotisme. Terakhir, kami berpendapat bahwa Otoritas Pelabuhan sebagai regulator dalam hal ini Kementerian Perhubungan, belum memberi ijin konsesi Pelindo ke JICT sehingga perpanjangan konsensi ini bisa batal demi hukum karena tidak memenuhi aspek legal formal peraturan dan Perundang-undangan,” tandasnya.

Artikel ini ditulis oleh:

Arbie Marwan