Surabaya, Aktual.com —  Pelukis terkemuka asal Jawa Timur Masdibyo mengemukakan bahwa seorang seniman harus paham mengenai pemasaran sehingga bisa berkarier dan berkarya secara mandiri tanpa tergantung kepada siapapun, termasuk kurator.

Saat berbicara pada bedah buku berjudul ‘Masdibyo Pelukis Perasaan’ karya Henri Nurcahyo di kampus Unesa Surabaya, Rabu (16/12), ia menegaskan bahwa kemampuannya di bidang pemasaran telah diasahnya sejak masih mahasiswa.

“Jangan gengsi. Saya ketika masih kuliah, ketika lukisan sudah dinilai oleh dosen, saya tawarkan ke mana-mana dari pintu ke pintu. Bahkan saya cicilkan. Misalnya harganya Rp50.000 ketika itu, dia (kolektor) nyicil dua kali tiap bulan,” katanya.

Pelukis kelahiran Pacitan, Jawa Timur, yang juga alumni Jurusan Seni Rupa IKIP Negeri Surabaya (kini Unesa) itu mengaku tidak pernah lelah untuk terus berkarya, meskipun belum tahu apakah lukisannya laku atau tidak. Namun demikian ia mengaku bahwa tidak ada karya seni yang basi.

“Sekarang saya punya cara sendiri dalam pemasaran karya saya. Saya biasa mengundang beberapa kolektor untuk makan di sebuah hotel, kemudian saya beri tahu karya saya yang dipamerkan tiga bulan ke depan. Mereka ternyata suka dan tidak aneh ketika pameran sudah banyak lukisan yang diberi tanda karena sudah laku,” ujarnya.

Ia mengakui bahwa cara seperti itu memang berbiaya tinggi, namun dia yakin bahwa yang didapatkan setelahnya akan lebih banyak. Dengan cara itu pula banyak kolektor yang membela jika ada seseorang yang menjelek-jelekkan karya Masdibyo.

“Makanya saya berani berjalan sendirian. Kalian jangan remehkan pelukis dari kampung ini. Ada yang bilang, kolektor bodoh yang membeli lukisan saya. Tapi kolektor itu malah marah kepada yang menjelek-jelekkan karya saya itu. Dia malah membela saya,” ujarnya.

Menurut dia, menguasai pemasaran tidak kemudian seorang pelukis menggadaikan idealismenya. Ia mengaku realistis setelah karyanya selesai, dan idealisme itu muncul ketika ia berhadapan dengan kanvas.

“Idealisme itu adalah jika pelukis hidup dari lukisannya. Setelah karya selesai, saya ada anak dan istri saya, ada lingkungan saya yang menunggu. Itu harus diperhatikan,” kata seniman yang pernah selama 40 hari hanya tidur 30 menit setiap hari karena menyiapkan karya untuk pameran tunggal itu.

Dia mengaku tidak ada rasa capek jika semua pekerjaan dilakukan dengan landasan cinta. Karena itu ia berprinsip bahwa semua waktu, baik siang maupun malam adalah “pagi” yang selalu menumbuhkan semangat baru.

Selain pemasaran, menurut dia, seniman juga harus paham mengenai manajemen, yakni bagaimana mengelola karya, mengelola waktu dan juga komunikasi dengan banyak pihak.

Pengamat seni rupa Dr Djuli Djatiprambudi yang juga dosen Unesa mengatakan sangat memahami apa yang dilakukan oleh Masdibyo.

Ia mengaku menjadi saksi bagaimana Masdibyo berproses sejak masih mahasiswa. Dia melihat bagaimana pria berambut gondrong itu telah menunjukkan keseriusan dalam berkarya sejak mahasiswa sehingga terlihat percaya diri.

Bedah buku yang juga menghadirkan Henri Nurcahyo sebagai penulis dan Salamun Kaulam (dosen Unesa) itu juga mengahdirkan penyair dan budayawan KH D Zawawi Imron yang memberikan kuliah umum.

Artikel ini ditulis oleh: