Jakarta, Aktual.com — Istilah bahasa asing kerap ditemui dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam percakapan lisan maupun tulis. Saat membeli barang di toko “online”, misalnya, kerap ditemui istilah seperti “order form”, “shipping”, atau “pre-order”.
Sejumlah lema dan frasa tersebut sebenarnya memiliki padanan kata dalam bahasa Indonesia, yakni “formulir pemesanan”, “pengapalan”, dan “pemesanan lebih awal”.
Mengapa memilih istilah asing yang memiliki padanan kata dalam bahasa Indonesia? Apakah penggunaan bahasa Indonesia meluntur? Pengajar Studi Indonesia Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia Tommy Christomy mengatakan, bahwa bahasa Indonesia adalah salah satu keajaiban karena semua kalangan, baik minoritas maupun mayoritas, menggunakannya sebagai pemersatu di antara keberagaman. Bahasa Indonesia terus hidup dan tumbuh serta dipakai di berbagai level, baik itu formal dan informal.
“Saya tidak khawatir dengan bahasa yang tumbuh di tengah masyarakat karena itu bagian dari dinamika,” ujar dia.
Perubahan seperti itu membuat masyarakat tidak bisa menolak hadirnya bahasa baru, misalnya bahasa alay.
Istilah baru pun kerap muncul di berbagai generasi, mulai dari istilah “kepo” (ingin tahu mengenai sesuatu), “woles”–kata “selow” dari bahasa Inggris “slow” yang dibalik–berarti santai, hingga “baper” yang merupakan singkatan dari “bawa perasaan”.
Jika dibandingkan dengan bahasa Melayu, pertumbuhan bahasa Indonesia lebih pesat karena disusupi bahasa daerah, bahasa kontemporer, bahasa kelompok, dan bahasa asing yang memperkaya komunikasi sehari-hari. Apalagi, Indonesia memiliki lebih dari 800 etnis dengan beragam bahasa.
Salah satu contoh kata serapan dari bahasa daerah adalah “nyeri” yang diambil dari bahasa Sunda. Alumnus Fakultas Sastra UI Jurusan Indonesia yang lulus pada tahun 1986 itu mengatakan bahwa lema “nyeri” menambah gradasi lain dari mengekspresikan kategori berbeda dari rasa sakit.
“Dalam bahasa melayu hanya ada kata ‘sakit’, sakit dicubit, atau dipukul hanya bisa diekspresikan dalam kata ‘sakit’, tidak ada istilah lain,” kata peraih gelar Master of Art dari Program Pascasarjana UI Program Studi Susastra pada tahun 1992.
Contoh lain adalah kata “ember” berkembang dari tempat air berbentuk silinder menjadi kata lain dari persetujuan atas suatu pernyataan. Misalnya, percakapan di bawah ini.
“Nasi gorengnya enak ya!” “Ember!” “Di Indonesia serapan bahasa daerah banyak sekali, ada juga pengaruh bahasa asing masuk. Sementara itu, di Malaysia tidak berkembang dengan bahasa daerah, atau lebih banyak serapan Inggris,” katanya.
Tommy menuturkan bahwa kawannya dari Malaysia mengaku sulit menyampaikan konsep mendasar tentang ilmu pengetahuan hanya dalam bahasa Melayu. Namun, hal yang sama tidak berlaku di Tanah Air.
“Di sini sangat memungkinkan memakai bahasa Indonesia untuk membicarakan hal ilmiah yang rumit, misalnya penyakit. Mengapa? Karena banyak kata serapan,” ujar peraih gelar doktor dari Australian National University, Program Southeast Asian Studies pada tahun 2002.
Tommy enggan menghakimi apakah banyaknya serapan kata asing merupakan tanda bahasa Indonesia mulai meluntur di tengah masyarakat. Ketika bahasa Indonesia digantikan dengan padanan dalam bahasa lain, bisa jadi karena masyarakat merasa tidak ada kata dalam bahasa Indonesia yang bisa mengekspresikan apa yang dimaksud.
“Yang tidak bagus itu kalau ada padanan kata dalam bahasa Indonesia dan masih terekspresikan, tetapi tetap pakai padanan bahasa asing,” kata pria yang menjadi pengajar di UI sejak 1988 itu.
Kendati demikian, menyelewengkan bahasa juga sah-sah saja bila ada tujuan tertentu, misalnya dalam industri kreatif.
Menurut Tommy, ada yang lebih merisaukan dan harus segera dibenahi, yakni implementasi penggunaan bahasa Indonesia formal yang diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan. Dia menegaskan aturan soal bahasa Indonesia dalam undang-undang itu harus dilaksanakan.
“Dokumen pemerintah, pidato pejabat, dan semua pihak terkait institusi negara adalah mereka yang harus menggunakan bahasa Indonesia. Namun, kenyataannya tidak semua terlaksana,” ujar dia.
Menurut UU No. 24/2009, bahasa Indonesia juga wajib digunakan untuk nama geografi di Indonesia, juga dalam penamaan bangunan, gedung, jalan, lembaga usaha, permukiman, perkantoran, atau organisasi milik warga negara Indonesia, atau badan hukum Indonesia.
Tempat-tempat tersebut dapat dinamai dengan bahasa daerah atau asing bila memang memiliki nilai sejarah, budaya, adat istiadat, atau keagamaan yang terkait.
“Sekarang, banyak tempat publik dan ruang umum yang dinamai tidak sesuai dengan ketentuan undang-undang,” kata Tommy.
Ia menyebut nama pemakaman elite San Diego Hills Memorial Park di Karawang.
“Mengapa pilihan utamanya bahasa Inggris? Memang tidak ada bahasa lebih halus dari kuburan? Kenapa tidak pakai nama ‘taman makam’ seperti ‘taman makam pahlawan’?” katanya.
Penamaan tempat publik dalam bahasa Indonesia dinilai lebih gencar dilakukan oleh pemerintah masa lampau.
“Sukarno dulu bikin mal namanya gedung Sarinah itu perlu keberanian, dia seorang yang paham ideologis kebangsaan,” kata dia.
Tommy membandingkan dengan negara lain, seperti Korea dan Jepang, yang tetap mempertahankan bahasa mereka di berbagai tempat, termasuk menu restoran.
“Kita tidak paham apa yang mereka tulis, tetapi mereka tetap percaya diri. Menu juga mau mengerti atau tidak, ya, ini menu kita. Kalau kamu tidak mengerti, ya, salah kamu,” kata dosen yang pernah mendapat penghargaan tenaga akademik UI berprestasi dalam riset dari DRPM UI pada tahun 2006 itu.
Tommy bercerita tentang Cia-cia, bahasa di Pulau Buton, Sulawesi Tenggara yang mengadaptasi alfabet Korea (hangul) untuk menuliskan bahasa daerah mereka karena mereka tidak memiliki huruf sendiri.
“Entah dengan inisiatif siapa masyarakat dan elite setempat minta diajari bahasa Korea. Karena enggak punya huruf lokal, mereka mengambil huruf Korea dan diterapkan pada nama jalan,” kata Tommy yang pernah mendatangi tempat tersebut bersama profesor asal Korea.
Ia mengatakan bahwa UU sudah jelas menyatakan bahwa urusan resmi berkaitan martabat bangsa harus menggunakan bahasa resmi. Sementara itu, di Buton, justru huruf Korea yang dipakai untuk membahasakan bahasa lokal.
“Kan jauh banget loncatannya. Kenapa tidak ke yang di sekitarnya? Kan banyak huruf-huruf yang dekat, Makassar punya huruf, Melayu juga, Jawa juga, kenapa harus Korea?” kata pria yang pernah tiga tahun mengajar di Hankuk University of Foreign Studies, Seoul, Korea Selatan.
“Ini bukan persoalan suka tidak suka, melainkan politik bahasa. Kalau menyangkut politik, yang sudah ditetapkan harus diikuti,” katanya.
Begitu pula, dengan penggunaan bahasa Indonesia sebagai pengantar dalam pendidikan nasional. Sebuah mata pelajaran yang tujuannya bukan untuk menambah kemampuan bahasa asing harus disampaikan dengan bahasa Indonesia.
“Kecuali sekolah swasta yang merupakan ‘franchise’ (hak) pihak lain di luar negeri, belajar pakai bahasa Inggris, ya, masuk akal,” pungkas dia.
Artikel ini ditulis oleh: