Ribuan petani dari berbagai organisasi menggelar unjuk rasa di kawasan depan Istana Merdeka, Jakarta, Rabu(27/9/2017). Dalam aksi ribuan petani menuntut reformasi agraria dan berharap pemerintah lebih berpihak pada petani kecil. AKTUAL/Munzir

Jakarta, Aktual.com – Program pembagian sertifikat tanah yang gencar dilakukan oleh Presiden Joko Widodo dianggap sebagai bentuk kegagalan pemerintah dalam memahami land reform atau reformasi agraria.

Senator lembaga Pro Demokrasi (Prodem), Paskah Irianto membantah jika upaya tersebut dianggap sebagai land reform. Menurutnya, pemerintah harus bisa membedakan antara pembagian lahan (land distribution) dengan reformasi agraria (land reform).

“Nah mereka (pemerintah) klaim land distribution ini adalah land reform, ini salah” ujar Paskah kepada Aktual, Sabtu (24/3).

Dalam era Soekarno, upaya land reform sendiri dilakukan dengan membuat tiga regulasi, yaitu UU Pokok Agraria, UU Pokok Bagi Hasil dan UU Penetapan Batas Maksimum Tanah Pertanian.

Artinya, lanjut Paskah, sangat salah kaprah jika menganggap pembagian sertifikat sebagai satu-satunya upaya land reform.

Paskah menegaskan, jika memang serius melakukan land reform, pemerintah harusnya melakukan pembagian lahan yang dibarengi dengan program lainnya.

“Kalau menurut saya, mereka (petani) harusnya dikasih HGU (hak guna usaha) saja. Kalau pemerintah berniat untuk membela petani, maka dia dikasih HGU, kemudian dia diberikan modal kerja, kemudian diberikan saluran bisnisnya,” paparnya.

Paskah menjelaskan, pemberian sertifikat tanah ini nantinya hanya akan mengulangi kesalahan masa lalu saja. Program ‘Hutan Untuk Rakyat’ era Presiden Gus Dur misalnya, pada akhirnya justru kurang optimal lantaran banyak petani di berbagai daerah yang menjual lahannya untuk melangsungkan hidup.

“Apa kebutuhan rakyat terhadap tanah? Katakanlah petani dengan sertifikat 2 hektar, itu mungkin bisa jadi alat produksi, tapi ini bisa terwujud kalau dia punya modal kerja. Kalau dia tidak punya modal kerja, bagaimana tanahnya jadi produktif?” paparnya.

“Menurut saya tidak akan efektif, jadi ujungnya pencitraan saja,” tutup aktivis 80 an ini.

Artikel ini ditulis oleh:

Teuku Wildan