Jakarta, Aktual.co — Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) mengkritik rencana pembangunan Pelabuhan Cilamaya di Karawang, Jawa Barat, karena dinilai bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014 tentang Kelautan.
“Pembangunan Pelabuhan Internasional Cilamaya bertentangan dengan UU Kelautan Pasal 42 bahwa pengelolaan ruang laut dilakukan untuk melindungi sumber daya dan lingkungan dengan berdasar pada daya dukung lingkungan dan kearifan lokal,” kata Ketua Umum KNTI M Riza Damanik, Selasa (31/3).
Menurut dia, peruntukan kawasan tersebut adalah untuk perikanan budi daya dan optimalisasi pelabuhan perikanan pantai, bukan menjadi pelabuhan internasional. Selain itu, KNTI menegaskan bahwa pembangunan Pelabuhan Cilamaya di Kecamatan Tempuran, Kabupaten Karawang, bertentangan dengan Perda No 2 Tahun 2013 tentang Tata Ruang Kabupaten Karawang.
Ia berpendapat bahwa pembangunan pelabuhan di Tempuran dapat berdampak pada matinya profesi nelayan dan aktivitas pelabuhan perikanan pantai seperti “cold storage” dan tempat pelelangan ikan. Terkait dengan rencana pergeseran titik pembangunan sejauh 2,9 kilometer, KNTI masih menilai hal itu bertentangan dengan Perda Tata Ruang Karawang.
Sementara itu, Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) Abdul Halim menyatakan, rencana penggeseran lokasi pelabuhan Cilamaya menunjukkan bahwa studinya belum matang atau asal membangun. Abdul Halim mengemukakan tentang terbukanya kemungkinan untuk membuat pelabuhan apung guna mengurangi risiko konflik dan atau kerusakan lingkungan yang lebih besar yang berpotensi terjadi karena pembangunan tersebut.
Sebelumnya, Kementerian Perhubungan memastikan proyek Pelabuhan Cilamaya, Karawang Utara, Jawa Barat, tetap akan dibangun dengan skema seluruh investasi diserahkan kepada swasta. Kepala Pusat Komunikasi Publik Kemenhub Julius Andravida Barata dalam keterangan tertulis yang diterima Antara di Jakarta, Minggu (29/3), mengatakan bahwa rencana proyek pembangunan pelabuhan tersebut telah diprakarsai sejak Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di mana studi kelayakan telah dilakukan sejak 2010.
Barata merinci studi teknis dan dampak lingkungan sudah dibuat oleh konsultan internasional dan sudah melibatkan Manajemen Pertamina dan SKK Migas dari periode sebelumnya.
Artikel ini ditulis oleh: