Jakarta, Aktual.com – Kritik dilayangkan Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) atas Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) tentang hukuman bagi pelaku kekerasan seksual atau dikenal dengan sebutan Perppu Kebiri.
Peneliti ICJR, Erasmus A.T Napitulu menilai hukuman itu hanya sebagai pelarian tanggungjawab pemerintah saja dalam memperhatikan korban kejahatan seksual. Padahal, pemerintah seharusnya lebih memperhatikan kondisi korban ketimbang pelaku.
“Kami kecewa presiden melupakan perlindungan terhadap korban,” ucap Erasmus di Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Menteng, Jakarta Pusat, Minggu (29/5).
Yang membuat kecewa, lantaran Perppu seharusnya disusun secara demokratis. Tetapi kenyataannya malah disusun dengan cara represif, tanpa memperhatikan kepentingan korban. Tidak ada satupun pasal yang mencantumkan mengenai korban. “Khususnya pasal yang mengatur untuk memberikan perlindungan dan pemenuhan hak-hak korban,” ujar dia.
Terlebih pengesahan perppu tidak didasari kajian yang rasional. Melainkan hanya didasari alasan-alasan emosional. Menurut dia, Perppu ini menunjukkan bahwa pemerintah tidak pernah memiliki basis data yang cukup terkait angka kekerasan seksual.
“Seperti kasus yang dilaporkan, dituntut dan disidangkan. Sampai sejauh mana kajian residivis mengenai kejahatan seksual,” tutur dia.
Tanpa kajian yang jelas dan tanpa memperhatikan korban kejahatan seksual, Erasmus menilai bahwa program pemerintah dalam melindungi anak dari kejahatan seksual tidak akan berhasil. “Kami berani bertaruh perppu ini tidak akan efektif, tidak akan merubah wajah suram perlindungan anak indonesia,” ujar dia.
Artikel ini ditulis oleh: