Jakarta, Aktual.com — Banyaknya perusahaan yang belum memperbaharui data asetnya, membuat pemerintah mengeluarkan kebijakan untuk memangkas besaran Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 19 atas selisih reevaluasi aset.
Hal ini dimaksud agar para pengusaha mau memberikan laporan terakhir asetnya, sehingga pajak yang dikenakan bisa sesuai perhitungan.
“Salah satu paket yang akan kami percepat adalah menurunkan tarif pajak reevaluasi aktiva tetap. Tadinya dari 10 persen menjadi 5 persen,” ujar Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP, Mekar Satria Utama di Jakarta, Jumat (9/10).
Kendati demikian, pengamat pajak Yustinus Prastowo mengatakan pajak revaluasi tidak akan berjalan efektif jika diadakan fasilitas pengurangan pajak (tax amnesty).
“Karena kalau sudah amnesty, ngapain revaluasi dipajaki. Kalau mau sebelum amnesty, dikeluarkan peraturannya dulu, pajak reevaluasi baru amnesty. Waktunya harus diperhatikan,” kata Pras.
Pras juga mengatakan penerimaan yang didapatkan dari revaluasi tidak signifikan. Pasalnya, selama ini wajib pajak yang ikut reevaluasi jumlahnya tidak banyak.
“Selama ini 10 persen terlalu tinggi. Perusahaan mau go public saja terbentur reevaluasi dia mikir pajak. Sebelum dia masuk bursa sudah harus bayar pajak revaluasi. Itu yang kontradiktif,” pungkasnya.
Untuk diketahui, pemerintah akan mengeluarkan aturan revisi PPh final pasal 19 pada pekan ini. Rencananya, aturan tersebut akan dikeluarkan secara bertahap, dan diberlakukan pada perusahaan swasta atau pun BUMN.
Artikel ini ditulis oleh:
Arbie Marwan