Jakarta, Aktual.com – Laju kredit yang masih merendah hanya mencapai 8,3 persen, disebabkan oleh pihak perbankan yang hanya mempraktikkan cara-cara ‘lazy banking’ yang tak efektif dan efisien.
Sehingga di tengah dana pihak ketiga (DPK) yang tinggi, perbankan hanya tertarik untuk menaruh dananya di Surat Berharga Negara (SBN) demi mendapat bunga besar. Mereka enggan untuk menyalurkan ke kredit terutama kredit produktif, padahal itu akan berdampak pada pertumbuhan perekonomian.
“Memang di tengah perlambatan saat ini, laju kredit menurun. Sehingga pernah mengarahkan dana yang menganggur itu dinvestasi ke SBN, salah satunya SUN,” ujar peneliti Indef, Eko Listiyanto saat dihubungi Aktual.com, Selasa (2/8).
Saat ini, ada sekitar Rp460 triliun dana perbankan nyangkut di SBN. Baik itu SUN atau SBI (Sertifikat Bank Indonesia). Mereka hanya mengandalkan margin bunga dari penempatan dana tersebut.
Cuma kalau mau ditelusuri, pemerintah sendiri yang menciptakan praktik ‘lazy banking’ itu. Dengan suku bunga tinggi yang ditawarkan di SUN, sekitar di atas 7 persen, lebih tinggi dari suku bunga deposito atau pun BI Rate, maka perbankan sendiri lebih suku untuk simpan uangnya di SUN.
Selama ini, klaim pemerintah butuh dana banyak untuk membangun infrastruktur, sehingga getol menerbitkan surat utang. Agar banyak peminatnya, surat utang itu dikasih suku bunga tinggi di atas 7 persen.
Tapi akibat lainnya, terjadi tarik menarik suku bunga. Kata Eko, pihak perbankan tidak mau kehilangan nasabah yang berpindah ke SUN, sehingga menaikkan suku bunga deposito, akibat bagi banknya, akan membuat biaya operasional terhadap pendapatan operasional (BOPO) bank tinggi.
“Sehingga yang terjadi upaya suku bunga single digit terutama untuk kredit, tidak akan pernah terjadi. Dan praktik-praktik ini, akibat ulah pemerintah sendiri,” cetus dia.
Saat ini, lanjut dia, SUN yang diterbitkan pemerintah sudah mencapai Rp230 triliun. Atau dengan kata lain, dalam sehari pemerintah mengincar utangan sebanyak Rp1 triliun.
“Itu sangat agresif sekali. Karena dampaknya terjadi tarik menarik suku bunga dan mengakibatkan praktik ‘lazy banking’. Pada akhirnya sektor riil yang menjadi korban,” pungkas Eko. (Busthomi)
Artikel ini ditulis oleh:
Eka