Jakarta, Aktual.com — Gabungan organisasi Kepemudaan Dan Kemahasiswaan serta LSM Pemerhati energi di Kawasan Timur Indonesia yang tergabung dalam Jaringan Investigasi Tambang, Minyak Dan Gas (JARING MIGAS) mendesak pemerintahan Jokowi-JK agar tidak memperpanjang kontrak sejumlah perusahaan asing yang saat ini menjadi operator di sejumlah blok migas di kawasan timur indonesia.

“Salah satunya adalah Inpex Corporation dan Royal Dutch Shell yang masih tercatat sebagai pemilik saham mayoritas di Blok Masela yang terletak di Laut Arafuru Maluku Tenggara Barat, Provinsi Maluku,” kata koordinator Presidium Jaring Migas Fuad Bachmid dalam rilis yang diterima Aktual, Sabtu (13/6).

Menurut Fuad, ada beberapa organisasi yang tergabung dalam Jaring Migas antara lain: Aliansi BEM FISIP Se-Indonesia Timur (ILMISPI Wil IV Indonesia Timur), Poros Aliansi BEM Indonesia (Poros BEM-I), LSM Indonesia Resources Transparency (IREC), LSM Indonesia Comittee Transparency (INDOTRANS), Perhimpunan Simpul Aktivis Seluruh Indonesia (PERSIRA), Persatuan Nasional Alumni Ikatan Senat Mahasiswa Seluruh Indonesia (PENA ISMSI), Front Gerakan Aktivis Seluruh Indonesia (FRAKSI), Aliansi Mahasiswa Maluku Menggugat (AM3 Jakarta), Forum Mahasiswa Pemerhati Hukum Dan Demokrasi (FORMAKSI), Solidaritas Mahasiswa Daerah (SOMASDA), Persatuan Mahasiswa Pemerhati Tambang (PMPT), Gerakan Mahasiswa Amanat Nusantara (GEMAH ANTARA), Eksponen Lintas Aktivis Kawasan Timur Indonesia (EKS KTI), Dan beberapa organisasi Kedaerahan Asal Maluku.

Ada beberapa alasan mengapa organisasi yang tergabung dalam Jaring Migas menolak perpanjangan kontrak itu.

“Yang pertama yakni tidak adanya kejelasan soal rencana produksi,” tegas Fuad.

Menurut Fuad, semenjak awal tahun 2009 Menteri ESDM di bawah komando Purnomo Yusgiantoro mengatakan Pemerintah menyetujui rencana pengembangan (plan of development) untuk memastikan bahwa Inpex akan berproduksi pada tahun 2016 dengan skala 4,5 juta ton per tahun.

Bahkan hal itu dipertegas lagi oleh pernyataan R. Priyono yang saat itu menjabat sebagai Kepala BP Migas. Akan tetapi sangat ganjal disaat Inpex kembali menyatakan bahwa mereka baru bisa berproduksi tahun 2018.

“Sehingga kesimpulan tidak adanya jaminan produksi sangatlah beralasan dan tidak menutup kemungkinan hal itu dapat terjadi kedepan disaat Pemerintah menyetujui perpanjangan kontrak, apalagi Jepang yang menjadi tujuan ekspor LNG, tentunya Fluktuasi pasar akan dimainkan oleh sesama mereka sehingga Negara berpotensi mengalami kerugian yang tidak sedikit,” tambahnya.

Selanjutnya, kata Fuad, soal potensi pelanggaran Undang-Undang. Upaya Inpex Corporation yang mempunyai keinginan untuk meminta Pemerintah memperpanjang kontrak saat ini dengan alasan pertimbangan investasi yang sudah dikeluarkan Inpex untuk pengembangan Blok Masela yang mencapai USD 14 miliar atau setara Rp 140 triliun sangat berpotensi menjebak pemerintah dalam tindakan melawan Hukum.

“Peraturan Pemerintah No. 35/2004 tentang Sektor Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi hanya mengharuskan pihak Inpex baru bisa ajukan penawaran perpanjangan kontrak 10 tahun paling cepat sebelum kontrak berakhir,” kilahnya.

Atas beberapa alasan itu, Jaring Migas meminta Pemerintah tidak memperpanjang Kontrak Inpex Corporation bersama Royal Dutch Shell.

“Karena tidak menghargai aturan Perundang-undangan yang berlaku. Selain itu kedua perusahaan itu diprediksikan tidak akan mampu memberikan keuntungan bagi bangsa indonesia seperti yang diamanatkan pada Pasal 33 UUD 1945 yang tak lain dan tak bukan yakni memastikan pengelolaan SDA yang bertujuan untuk kemakmuran rakyat,” tutup Fuad.