Semestinya, Jokowi menyusun rencana guna memastikan setiap rupiah utang yang diambil pemerintah benar-benar produktif sehingga bisa membayar utang dengan happy tanpa mengeluh.

“Utang 1 harus dapat 2 lebih, buat bayar utang beserta bunga dan sisanya laba usaha dari duit utang tadi. Jangan mau utang tapi giliran ditagih susah. Ini namanya apa? Kita jadi mempertanyakan efektifitas dan produktifitas utang yang Jokowi ambil kalau caranya begini,” kata Hardjuno.

Sampai hari ini belum ada data konkret yang menunjukkan perubahan signifikan dalam penggunaan utang Indonesia. Padahal rakyat Indonesia berhak mengetahui pemanfaatan utang Indonesia ini.

Artinya, utang harus digunakan secara efisien untuk proyek-proyek yang benar-benar memberikan manfaat jangka panjang bagi ekonomi Indonesia. Namun sayangnya, utang banyak juga yang di korup.

“Berapa banyak kasus korupsi di infrastruktur. Menteri, bupati, sampai kades banyak dipenjara gara-gara infrastruktur yang duitnya dari utang,” papar Hardjuno.

Masifnya budaya korupsi ini menjadi pertanyaan rakyat Indonesia. Terutama, sejauh mana benefit utang ini dalam peningkatan pendapatan negara. Sebab, data menunjukkan bahwa sektor pajak di Indonesia masih menghadapi tantangan besar dalam mengumpulkan pendapatan yang cukup.

Menurut Hardjuno, dengan utang yang terus meningkat, risiko ketidakmampuan pembayaran utang negara menjadi semakin besar. “Dan ini sangat berbahaya bagi bangsa ini kedepannya,” jelasnya.

Hardjuno juga mengkritik kurangnya transparansi dalam penggunaan dana yang diterima dari, misalnya, Bank Dunia saja.

Untuk itu, dia mendesak pemerintah menjelaskan pemanfaatan utang ini serta bagaimana dampaknya terhadap pembangunan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. “Dan Jokowi musti jelaskan sebelum pemerintahannya berakhir,” papar Hardjuno.

Artikel ini ditulis oleh:

Zaenal Arifin