Foto udara kawasan reklamasi di Teluk Jakarta, Rabu (11/5). Pemerintah telah memutuskan moratorium reklamasi Teluk Jakarta hingga enam bulan mendatang sambil membuat rencana induk holistik, terperinci dan mendalam terkait proyek pembangunan Pengembangan Terpadu Pesisir Ibukota Negara (National Capital Integrated Coastal Development/NCICD) atau Proyek Garuda yang lebih dikenal dengan nama tanggul laut raksasa. ANTARA FOTO/Widodo S. Jusuf/ama/16.

Jakarta, Aktual.com – Pemerintah dianggap menyodorkan karpet merah bagi pengembang melalui kebijakan megaproyek pulau buatan di Teluk Jakarta.

Pasalnya, meski pembangunan reklamasi 17 pulau dan tanggul raksasa (giant sea wall/GSW) baru utuh terbangun pada puluhan tahun mendatang, tapi sudah dicanangkan beberapa tahun terakhir.

“Kalau sudah mencanangkan, artinya land banking (bank tanah, red). Dia akan menyetok tanah,” ujar mantan Asisten Deputi Bidang Pengaduan dan Penataan Sanksi Administrasi Kementerian Lingkungan Hidup (KLH), Dodo Sambodo, saat dihubungi di Jakarta, Senin (27/6).

Kebijakan tersebut, juga mencerminkan tidak adanya keadilan bagi masyarakat. Apalagi, pembangunannya diserahkan ke swasta, lantaran negara tidak memiliki dana cukup untuk membangunnya.

“Seharusnya tanah ini tidak bisa dibangun swasta. Karena yang punya kewajiban adalah pemerintah,” tegasnya.

Eks aktivis Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) itu juga mempertanyakan kesahihan salah satu latar belakang kebijakan tersebut dilakukan, dimana diklaim untuk mengantisipasi lonjakan populasi di ibukota hingga 13 juta jiwa pada 2030 mendatang.

“Ini datanya harus diungkap. Data-data ini saya khawatir ada penyimpangan, sehingga manipulasi mengerjakan proyek,” terka Dodo.

 

Laporan: Fatah

Artikel ini ditulis oleh: