Jakarta, Aktual.co β€” Kecerobohan maskapai penerbangan Lion Air yang terlalu banyak melakukan delay hingga memaksa direksi PT Angkasa Pura II menalangi pengembalian uang tiket memuat beberapa pertanyaan besar terkait keuangan perusahaan.

“Dengan banyaknya perusahaan penerbangan domestic dan JV dengan Malaysia di bawah bendera Lion Group seperti Malindo Air, Batik air, Wings Air perlu dicurigai sebagai upaya Lion Air untuk mengakali pembayaran pajak dengan transaksi barang dan jasa antara beberapa divisi pada suatu kelompok usaha dengan harga yang tidak wajar,” ujar Ketua Umum Federasi Serikat Pekerja (FSP) BUMN Bersatu, FX Arief Poyuono, dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Senin (23/2).

Menurutnya, perusahaan mengakali pajak dengan menaikan harga (mark up) atau menurunkan harga (Mark down) pembelian pesawat oleh Batik air dan Wing Air, Malindo Air dari Lion air pemegang hak 231 pesawat jenis Boeing seri 737-900 ER dan tarif tiket yang diberlakukan saat ini.

“Tujuannya untuk mengakali jumlah profit sehingga pembayaran pajak dan pembagian dividen menjadi rendah. Kedua, menggelembungkan profit untuk memoles (window-dressing) laporan keuangan. Bisa juga Negara dijadikan praktek transfer pricing,” tambahnya.

Menurutnya, Pajak Lion Air dan anak perusahaannya harus diaudit karena dikhawatirkan akan merugikan Negara. Dalam sejarah dunia penerbangan komersil di Indonesia, beberapa maskapai penerbangan nasional terpaksa berhenti terbang dan tidak beroperasi karena terbelit masalah utang seperti Bouraq Airlines, Sempati air, Batavia Air, Jatayu air, Bali Air, Adam Air, AW Air, Mandala Airlines, Star Air dan juga airlines kawakan milik Negara seperti Merpati Nusantara Air.

β€œIni bisnis enggak gampang. Satu kesalahan akan membuat banyak biaya,” jelasnya.

Perusahaan yang masih bertahan, sebagian merugi. Bahkan sepanjang kuartal I 2014, PT Garuda Indonesia Tbk melaporkan rugi bersih sebesar USD164 juta. Indonesia AirAsia merugi Rp390,4 miliar. Nah apakah Lion Air tidak bernasib sama dengan pesaingnya, tentu ini sudah terlihat tanda tandanya dengan seringkalinya delay yang terjadi dalam penerbangan Lion Air.

“Pada Maret 2013, Bank Exim Amerika Serikat menyetujui komitmen akhir dari USD1,1 miliar jaminan pinjaman untuk membiayai ekspor dari armada pesawat Boeing ke Lion Air. Untuk Apple Bank Saving (New York) menyediakan pembiayaan, dengan kemungkinan tambahan dana yang disediakan oleh investor pasar modal melalui Bank-guaranteed bond dari Bank Exim Amerika,” ujarnya.

Ia memaparkan, tentu tahun 2015 Lion Air menurut sistim pinjaman kredit eksport pesawat dari bank yang berlaku di dunia, berlaku di Bank EXIM Amerika atau pun ECA (Europe Credit Agency ) masa grace periode pinjaman kredit pemebelian pesawat Lion air sudah habis dan saatnya untuk membayar angsuran kredit dan tahun 2013 hingga 2014. Padahal dunia penerbangan Indonesia memasuki masa paceklik dengan keadaan ekonomi dunia yang bergejolak dan tingginya harga minyak dunia hingga mencapai 100 US dollar lebih.

“Karena itu, Pemerintah Jokowi dan Bank Indonesia tidak boleh tinggal diam dengan pinjaman luar negeri yang dilakukan oleh Lion air sebab sesuai Peraturan Bank Indonesia Nomor: 2/22/Pbi/2000 tentang Kewajiban Pelaporan Utang Luar Negeri, wajib menyampaikan laporan setiap Badan Usaha Bukan Bank dan perorangan yang mempunyai Utang Luar Negeri kepada Bank Indonesia secara lengkap, benar, dan tepat waktu secara berkala sesuai jangka waktu yang ditetapkan oleh Bank Indonesia,” jelasnya.

Hal ini penting agar untuk pengendalian moneter yang bisa berimbas pada nilai tukar rupiah terhadap dollar dan rating Negara pengutang bagi Indonesia serta stabilitas moneter untuk mengelola cadangan devisa dan kebijakan moneter yang akan diambil oleh BI dan pemerintah.

Artikel ini ditulis oleh:

Eka