Jakarta, Aktual.com – Tokoh Rumah Amanah Rakyat (RAR) Ferdinand Hutahean mengkhawatirkan tahun 2017 menjadi tahun kematian bagi kebebasan berpendapat. Masih dalam hitungan hari ini di tahun 2017, lonceng kematian terhadap kebebasan berbicara dan kebebasan itu sangat kentara.

“Presiden Jokowi terlihat sangat resah dengan atmosfir media sosial dan media-media yang selama ini dikenal dengan media online,” terang Ferdinand dalam keterangannya kepada Aktual, Kamis (5/1).

Menurutnya, jika kita cermati di media sosial setiap hari memang terjadi perlakuan-perlakuan tidak patut. Politik telah menjadikan media sosial dan media sebagai sarana yang efektif untuk membunuh dan menghabisi karakter maupun nama baik seseorang yang menjadi lawan politik.

Ironi demikian terjadi ketika penegakan hukum berlaku tidak adil dalam menindak penyeberan fitnah dan pembunuhan karakter di media sosial maupun media. Pemerintah yang memegang otoritas penindakan, selanjutnya bereaksi dengan berencana menutup media online yang kritis kepada pemerintah dengan tuduhan menebar konten ilegal atau hoax.

Namun pemerintah tidak berencana menutup media online yang menyerang pihak yang dianggap sebagai lawan politik pemerintah. Misalnya pemerintah tidak serta merta menutup media online yang menuduh Presiden RI Ke 6 Soesilo Bambang Yudhoyono atau SBY sebagai pihak yang mendanai Aksi Bela Islam dan menuduh SBY dibalik pelaku teror bom yang ditangkap di Bekasi.

“Mengapa hal tersebut terjadi? Hanya pemerintah yang tahu dan kita hanya bisa menduga-duga dan dugaan itu tidak perlu kita tuliskan dalam artikel ini karena kuatir dituding menyebar hoax kemudian ditangkap oleh polisi,” kata Ferdinand.

Disinggung pula bagaimana resahnya pemerintah dengan buku ‘Jokowi Undercover’ karya Bambang Tri. Penulisnya kini bahkan menjadi tersangka dan ditahan oleh polisi. Sementara ukuran kebebasan berpendapat masuk kategori hoax sendiri tidak jelas dan menjadi domain persepsi pemerintah saja. Polisi dalam kasus ini hanya menyebut penulisnya tidak punya kemampuan riset.

Lalu soal isu serbuan tenaga kerja cina yang deras dibicarakan di media dan media sosial. Oleh pemerintah ditanggapi dengan mengambil langkah hukum terhadap siapapun yang dianggap menebar hoax. Kesannya, bangsa ini akan berubah menjadi negara yang dipimpin rejim fasis. Setiap sikap kritis akan dituding hoax dan harus dipenjara.

Menurutnya, mekanisme penegakan hukum sebenarnya menjadi pilihan baik dalam masalah ini. Presiden Jokowi bisa mendatangi kepolisian untuk melaporkan fitnah atau mengutus kuasa hukumnya seperti dilakukan SBY dan Soeharto. Keduanya mengambil sikap bijak dengan memberi pelajaran hukum.

“Ini contoh yang bisa ditiru oleh Presiden Jokowi dan tidak membiarkan jajarannya bertindak berlebihan dengan menutup situs media secara paksa dan memerintahkan Polri menindak secara tegas dan keras karena itu akan menimbulkan ketakutan bagi masyarakat,” urai Ferdinand.

Ditambahkan dia, pemerintah sangat reaktif dan menutup paksa media online yang memang mengambil sikap kritis dan berseberangan politik dengan pemerintah. Namun menjadi amnesia atau pura-pura tidak tahu keberadaan media online yang memfitnah pihak lain yang dianggab lawan politik rejim berkuasa.

“Media online penebar fitnah terhadap lawan politik rejim berkuasa, dibiarkan tumbuh subur dan tetap hidup sembari terus memfitnah,” katanya.

Ia mengakui, pemerintah sah-sah saja menertibkan media sosial dan media online. Akan tetapi penertiban itu harus adil dan berlaku standard yang sama terhadap semua media. Tidak boleh ada standar ganda karena itu akan mencerminkan ketakutan Presiden terhadap kritik dan bentuk dari sebuah sikap yang anti kritik.

“Ada baiknya presiden bersikap lebih bijak dalam mereaksi serangan-serangan kaum oposan kepada rejimnya. Dan kepada semua pihak agar menggunakan media dengan bijaksana dan bertanggung jawab,” demikian Ferdinand.(Soemitro)

Artikel ini ditulis oleh:

Andy Abdul Hamid