A visitor passes ENOC-branded oil barrels stored at the Emirates National Oil Co. lubricants and grease manufacturing plant in Fujairah, United Arab Emirates, on Monday, March 12, 2012. ENOC, as Dubai's government-owned refiner is known, will expand the plant's capacity to 250,000 tons a year by 2014, it said. Photographer: Gabriela Maj/Bloomberg

Jakarta, Aktual.com —  Pemerintah tengah menyiapkan kebijakan dana khusus yang disebut Petroleum Fund (PF) sebagai bantalan guna mengantsipasi fluktuasi harga minyak dunia.

Pengamat Energi Indonesia Resources Studies (IRESS) Marwan Batubara meminta Pemerintah sebelum memberlakukan kebijakan tersebut agar terlebih dahulu mempertimbangkan dan menjelaskan ke publik mengenai definisi termasuk perbedaan konsep petroleum fund (PF) dengan dana stabilisasi harga BBM, serta tujuan penerapannya masing-masing.

“Secara global, Petroleum Fund, terutama digunakan menjamin adanya disiplin fiskal, mencari cadangan migas baru, mensimulasi pengembangkan Energi Baru dan Terbarukan (EBT) mengurangi ketergantungan pada pendapatan migas dan menciptakan mekanisme distribusi pendapatan migas secara adil dengan generasi mendatang,” kata Marwan dalam keterangannya di Jakarta, Jumat (21/8).

Sedangkan dana stabilisasi BBM, lanjutnya, terutama diterapkan dalam rangka menciptakan stabilisasi harga BBM dalam periode tertentu yang lebih panjang akibat fluktuasi harga minyak, termasuk menerapkan pajak BBM yang tinggi saat harga minyak rendah dan sebaliknya.

Petroleum Fund bersifat jangka panjang yang berfungsi sebagai alat untuk mencapai pengelolaan SDA yang berkelanjutan dan berkeadilan bagi generasi mendatang, sedang dana stabilisasi bersifat jangka pendek guna mengatasi fluktuasi harga dalam konteks optimasi manajemen anggaran dan dampaknya pada sektor lain,” ujarnya.

Ia menambahkan, selain itu, dalam tataran operasional penerapan PF memerlukan pemberlakuan UU Migas baru, termasuk menetapkan lembaga baru sebagai pelaksana dan kuasa pengguna anggarannya. Sedangkan penerapan dana stabilisasi dapat diakomodasi dalam UU APBN yang dibahas setiap tahun dan kuasa penggunaan anggarannya adalah KESDM dan atau Pertamina.

RUU APBN 2016 telah disampaikan Presiden kepada DPR RI dan DPD RI pada 14 Agustus 2015 dan akan ditetapkan menjadi UU APBN 2016 oleh DPR pada Oktober 2015. Sedangkan RUU Migas belum tentu ditetapkan pada 2015 dan harus menunggu beberapa bulan atau tahun untuk pemberlakuan PP dan Permen ESDM di bawah UU Migas sebelum kebijakan PF atau dana stabilisasi BBM dijalankan. Jika harga minyak dunia mendadak naik kembali dan kurs Rupiah terus menurun, rakyat akan menanggung beban kenaikan harga BBM atau Pertamina akan menanggung kerugian karena belum tersedianya peraturan yang mendukung pelaksanaan Petroleum Fund.

“Dalam kondisi perpolitikan Indonesia saat ini, dana stabilisasi harga BBM dapat berperan sebagai dana pengganti subsidi APBN. Faktanya pemerintahan Jokowi-JK pun gamang menerapkan kebijakan harga BBM sesuai harga keekonomian yang telah ditetapkan sendiri, sesuai Perpres No.191 Tahun 2014. Sehingga, karena ‘takut’ menaikkan harga BBM, pemerintah memaksa Pertamina menjual BBM dalam kondisi merugi,” ungkap Marwan.

Oleh sebab itu, Marwan meminta agar pemerintah dan DPR segera menerapkan kibijakan dana stabilisasi BBM dan mengalokasikan anggarannya dalam APBN 2016.

Adapun kebijakan PF yang memang mendesak pula diadopsi, penerapannya dapat dijalankan terpisah dari dana stabilisasi BBM melalui ketentuan dalam UU Migas baru yang sedang disusun.

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Eka