Hal itu yang berefek langsung ke perekonomian. Terutama bagi swasta yang sangat berharap kepada belanja pemerintah. Terutama sektor-sektor seperti bisnis akomodasi, restoran, perhotelan, dan bisnis lainnya.
Termasuk juga, tak menutup kemungkinan beberapa proyek infrastruktur akan distop sementara atau anggarannya dibentuk multiyear. Biar tidak menjadi beban lagi. Hal itu pun sudah dikeluhkan oleh kontraktor swasta. Skemanya, bisa ditahan dulu oleh pemerintah pusat melalui BUMN.
“Tentu saja imbas turunan lainnya itu ke sektor konsumsi yang harusnya tumbuh, tapi karena proyek infrastruktur tak ada belanja pemerintah akan berkurang ke pertumbuhan (ekonomi) yang pasti akan menurun. Jadi dampaknya signifikan gara-gara defisit melebar itu,” ujar dia.
Belum lagi, dengan defisit tinggi, sudah pasti pemerintah akan mencari utangan baru. Kalau utang semakin banyak, yang sudah pasti sangat membebani ke depannya terhadap anak-cucu warga Indonesia. Apalagi utang jatuh tempo di 2019 saja bisa sebanyak Rp810 triliun.
“Kita akan terjebak pada jerat utang yang paling parah. Karena di jangka pendek, utang itu akan menimbulkan crowding effect luar biasa. Padahal itu sudah terjadi di 2015. Dimana defisitnya dinaikkan jadi 2,8 persen dari target 1,9 persen,” ingat dia.
Kata Bhima, yang terjadi justru agresivitas penerbitan SBN itu gila-gilaan. Kondisi itu telah berdampak pada perbankan yang kesulitan mencari dana. Jika seperti itu, maka perbankan akan menaikkan suku bunga simpanan agar mau taruh uang di bank.
Artikel ini ditulis oleh:
Eka