Ninik Hariwanti,

Jakarta, Aktual.Com-Pemerintah menilai tak terlaksananya putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, tidak disebabkan oleh ketiadaan frasa “wajib dilaksanakan” dalam norma undang-undang tetapi hal itu lebih dikarenakan kurangnya kesadaran hukum di tengah masyarakat.

Seperti disampaikan Direktur Litigasi Peraturan Perundang-Undangan Kemenkumham Ninik Hariwanti, di Ruang sidang MK, Selasa (10/1/2017).

Dalam sidang ketiga uji UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi [Pasal 10 ayat (1) dan Pasal 47], UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman [Pasal 29 ayat (1)], dan UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan [Pasal 7 ayat (2) huruf l], Hariwanti menegaskan Pemerintah berkomitmen untuk melaksanakan dan menindaklanjuti semua putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap termasuk putusan MK.

Jika permohonan pemohon kemudian dikabulkan, kata dia tidak memiliki akibat perubahan apapun pada kebijakan pemerintah dan masyarakat. Pasalnya, pada dasarnya permohonan pemohon tersebut adalah elemen yang sudah dilaksanakan, baik oleh Pemerintah maupun masyarakat.

“Permohonan pemohon tidak lebih daripada suatu penegasan dari suatu makna putusan yang telah berkekuatan hukum tetap. Karena itu, ketiadaan frasa ‘wajib dilaksanakan’ dalam pasal-pasal tersebut tidaklah dapat dimaknai bertentangan dengan UUD 1945,” terang Ninik seperti dikutip dari Situs resmi MK.

Disisi lain, menurut dia, Pemerintah sendiri berpendapat jika uji konstitusionalitas norma tentang kewajiban melaksanakan putusan MK yang dimohonkan Forum Advokat Muda Indonesia (FAMI) tersebut seharusnya tidak dapat diterima. Ninik berpendapat tidak ada kerugian konstitusional pemohon sebagai advokat dengan adanya aturan yang diujikan.. “Pemerintah memandang bahwa kerugian secara langsung yang diderita pemohon tidak ada,” ujar Ninik.

Dalam permohonannya, sambung Ninik pemohon yang merupakan advokat dan penasehat hukum merasa dirugikan dengan banyaknya Putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat non-executiable (tidak dapat dijalankan).

Kerugian tersebut jelas dialami pemohon lantaran memiliki tugas memberi pendampingan hukum, membela, memberi bantuan hukum berupa nasehat dan atau konsultasi hukum, mendampingi, mewakili dan atau membela serta memastikan bahwa seorang klien mendapatkan hak-haknya dalam menjalankan proses hukum baik dalam persidangan maupun di luar persidangan.

Sementara itu, para pemohon menilai tidak cukup apabila pelaksanaan putusan MK hanya berharap pada asas self respect dan kesadaran hukum dari pihak manapun, baik pemerintah, pejabat publik, perseorangan, badan hukum dan lain sebagainya.

Pemohon berpendapat Putusan MK harus dianggap sebagai putusan yang berlaku asas res judicata (putusan hakim harus dianggap benar), serta asas res judicata pro veritate habetur (apa yang diputus hakim harus dianggap benar dan harus dilaksanakan).

Untuk itu, pemohon meminta Frasa “Putusan Mahkamah Konstitusi memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum” pada Pasal 47 UU MK harus dinyatakan inkonstitusional bersyarat, sepanjang tidak diartikan harus dilaksanakan oleh siapapun. Selain itu, Pemohon juga meminta Pasal 7 ayat (2) huruf “l” UU Administrasi Pemerintahan harus dinyatakan konstitusional bersyarat, sepanjang tidak diartikan hanya diberikan kewajiban atas Putusan Tata Usaha Negara saja, akan tetapi juga bagi Putusan Mahkamah Konstitusi.

Artikel ini ditulis oleh:

Bawaan Situs