Massa yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil Anti Korupsi memukul kentongan dan membawa spanduk-spanduk penolakan revisi UU KPK saat melakukan aksi di halaman Gedung KPK, Jakarta, Selasa (16/2/2016). Dalam aksinya mereka menolak revisi Undang-undang KPK karena dapat melemahkan KPK dalam memberantas korupsi.

Jakarta, Aktual.com — Pengamat hukum dari Universitas Nusa Cendana Kupang Karolus Kopong Medan berpendapat, diperlukan kajian filosofi di balik rencana revisi Undang-undang Komisi Pemberantasan Korupsi.

“Sudah menjadi tradisi bahwa, dalam setiap rencana perubahan suatu undang-undang, baik melalui hak inisiatif maupun pihak lainnya, harus tetap melalui suatu kajian, dan umumnya aspek filosofi dibalik rencana perubahan,” kata Karolus Kopong Medan, Rabu (17/2).

Menurut dia, aspek ini perlu dikaji untuk mengetahui logika filosofinya apa, dan memungkinkan atau tidak dilakukan perubahan undang-undang itu. Selain aspek filosofi, perlu juga dilakukan kajian dari aspek yuridis.

Aspek ini perlu dikaji untuk mengetahui singkronisasi antara UU KPK yang akan diubah dengan peraturan perundang-undangan yang satu dengan lain, baik secara horisontal maupun vertifikal antara perubahan UU KPK dengan peraturan yang lebih di atas dan peraturan turunan.

Aspek lain yang juga perlu dikaji adalah aspek politik. Kajian politik, katanya, perlu untuk mengetahui kepentingan yang lebih besar dari bangsa ini.

“Dari kajian ini bisa diketahui, apakah perubahan UU KPK ini dari sisi politis menguntungkan kepentingan banyak orang atau hanya untuk kelompok tertentu saja,” kata Kopong Medan.

Kajian lain yang tidak kalah penting adalah dari sisi sosilogis. Kajian ini dilakukan untuk mengetahui apakah perubahan yang akan dilakukan ini dari sisi sosialogis kemasyarakatan dari aspek budaya dimungkinkan atau tidak.

Artinya, menurut dia, DPR tidak bisa sewenang-wenang melakukan revisi terhadap UU KPK tanpa melalui suatu kajian akademik.

Artikel ini ditulis oleh:

Wisnu