Salamuddin Daeng

Jakarta, Aktual.com- Pemerintah Indonesia dinilai bisa menerapkan kebijakan bea masuk tinggi demi melindungi kepentingan para petani tembakau di dalam negeri dari serbuan impor. Penerapan kebijakan itu dinilai tidak bertentangan dengan perjanjian internasional karena mengacu demi melindungi kepentingan nasional negara bersangkutan. Merujuk data BPS, tahun lalu dari total tembakau impor mencapai 91 ribu ton, kontribusi tembakau China mencapai 47,6 persen.

Peneliti Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) Salamuddin Daeng mengemukakan, saat ini, di berbagai belahan dunia, setiap negara mendahulukan kepentingan nasional mereka, terutama sektor yang memberi dampak ekonomi signifikan, dalam setiap negosiasi regulasi perdagangan.

Di Indonesia, tembakau yang ditanam petani, ikut berkontribusi mendorong ekonomi. Nah, salah satu instrumen perdagangan bebas yang dapat digunakan untuk melindungi kepentingan dalam negeri adalah Agreement on Technical Barriers to Trade (TBT).

“Dalam konteks Indonesia, upaya pembatasan perdagangan tembakau dapat difokuskan pada isu impor tembakau. Adapun instrumen yang bisa digunakan yakni bea masuk (tarrif) yang tinggi pada impor tembakau,” tegas Daeng, kepada Media secara tertulis di Jakarta, Selasa (30/5).

Pemerintah bisa menggunakan bea masuk tinggi, dengan alasan perlindungan pada hak asasi petani dalam menanan tembakau yang sudah tergerus oleh produk impor dan juga alasan lingkungan hidup.

Misalnya petani tembakau akan merambah hutan jika tidak menanam tembakau yang memicu kerusakan hutan Indonesia. Umumnya negara negara maju peduli dengan masalah ini sehingga relatif tidak akan ada resistensi.

Daeng menjelaskan, TBT merupakan perjanjian dalam World Trade Organization (WTO) menyangkut pembatasan perdagangan atas dasar kepentingan nasional suatu negara. TBT berkaitan dengan promosi terhadap standar internasional, berkaitan dengan masalah kesehatan, lingkungan hidup dan hak asasi manusia.

Negosiasi dan pengaturan TBT dalam WTO, kata Daeng, meliputi seluruh produk pertanian dan industri, namun tidak termasuk didalamnya isu sanitary dan phitosanitary karena telah diatur sebagai bentuk pembatasan perdagangan tersendiri.

Isu tembakau sendiri, ditegaskan Daeng, diakomodir dalam TBT sejak Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) di deklarasikan dan FCTC diadopsi oleh WTO. Ini artinya, TBT dapat diberlakukan pada negara negara yang meratifikasi FCTC itu sendiri atau atau masih mungkin pada negara negara yang telah mengadopsi FCTC ke dalam UU negara tersebut.

Hanya saja, Pemerintah Indonesia mesti menghindari penggunaan FCTC sebagai landasan memberlakukan TBT karena dapat menjadi bumerang dalam isu-isu lainnya. Argumentasi pembatasan perdagangan dapat dilakukan dengan alasan lain seperti lingkungan dan hak asasi manusia atau kepentingan fiskal policy.

Pemerintah pun harus hati-hati dan teliti agar tidak tabrakan dengan regulasi yang sudah ada. Misal perdagangan bebas ASEAN (FTA) yang telah menetapkan bea masuk 5 % untuk impor tembakau sehingga Indonesia bisa dinilai tidak menerapkan azas pemberlakuan yang sama antar negara. Belum lagi, negara yang menjalankan TBT besar kemungkinan akan menemui sengketa atau protes.

Misal, dalam praktek TBT yang dijalankan Australia, digugat dan dihadapkan dengan dua perjanjian yakni Billateral Investment Treaty (BIT) dan isue sanitary and Phitodanitary di WTO.

Untuk itu, sambil menganalisa peluang penerapan TBT, pemerintah dalam waktu dekat harus fokus pada penguatan pertanian tembakau dan kapasitas industri, sehingga mampu mandiri dalam penyedian bahan baku dan barang modal dalam industri tembakau dan rokok, serta lebih jauh adalah ketahanan ekonomi petani.

“Itulah cara kita menghadapi perdagangan bebas yang seringkali disepakati oleh hanya segelintir pihak yang memiliki power,” tandas Daeng.

Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA), Yustinus Prastowo menambahkan, pengenaan bea masuk tinggi untuk tembakau impor, dimungkinkan namun penerapanya perlu hati-hati.

Ini berkaitan dengan aspek legal atau perjanjian internasional yang sudah diteken pemerintah Indonesia dengan negara lain. Termasuk dengan China yang notabene pemasok tembakau impor terbesar untuk Indonesia.

“Apalagi Tiongkok importir utama. Yang ada malah Tiongkok dan India diuntungkan karena mendapat peralihan impor dari Amerika Serikat, Turki dan negara lain yang terkena tarif tinggi,” jelas Yustinus, kepada Media, Senin (29/5).

Pengenaan tarif bea masuk tinggi oleh negara, kata Yustinus, baru dimungkinkan ketika dari sisi pasokan tembakau baik kualitas dan kuantitas sudah mencukupi. Namun, melihat kondisi Indonesia, terkesan ada ‘dongeng’ seakan-akan pasokan tembakau melimpah padahal tidak berdasar data. “Secara gamblang, memang secara kualitas dan kuantitas ada keterbatasan dari pasokan tembakau lokal,” tegasnya.

Yustinus setuju dengan Daeng, opsi terbaik saat ini, pemerintah mengedepankan perbaikan tata kelola sektor pertanian tembakau terlebih dahulu. Pemerintah mesti berkolaborasi, untuk memberikan pelatihan, memberi bibit berkualitas, membuka akses pinjaman keuangan untuk petani tembakau agar mampu meningkatkan produksi.

Namun ironis, kenyataanya justru terbalik. Bahkan di era pemerintahan sebelumnya, yakni era Susilo Bambang Yudhoyono, malah dirancang sebuah program pengalihan petani tembakau untuk menanam tanaman lain.

Tak heran, kondisi pasokan tembakau lokal makin anjlok. Impor pun melonjak. Bagi Yustinus, untuk menjaga kesinambungan di industri hasil tembakau, harus ada roadmap yang komprehensif dari hulu ke hilir secara beriringan.

Artikel ini ditulis oleh:

Bawaan Situs