Sejumlah pekerja menyelesaikan pembangunan tiang Light Rail Transit (LRT) di sepanjang Tol Jagorawi, Cibubur, Jakarta Timur, Jumat (13/1/2017). Proyek LRT yang terdiri enam lintas layanan tersebut meliputi tahap pertama, yakni Cawang-Cibubur (14,3 km) Cawang-Kuningan-Dukuh Atas (10,5 km), Cawang-Bekasi Timur (18,3 km), sementara tahap kedua meliputi Dukuh Atas-Palmerah-Senayan (7,8 km), Cibubur-Bogor (25 km), dan Palmerah-Grogol (5,7 km) ditargetkan rampung pada tahun 2018 sebelum Asian Games dimulai. AKTUAL/Munzir

Jakarta, Aktual.com – Proyek kereta api ringan atau light rapid transit (LRT) Jakarta, Bogor, Depok dan Bekasi terancam mangkrak karena terkendala anggaran. Pemerintah kemudian mengeluarkan opsi alternatif pembiayaan dari proyek senilai Rp 22,5 triliun tersebut.

Menkeu Sri Mulyani, Selasa (7/2) lalu mengatakan opsi alternatif pendanaan dalam bentuk Public Service Obligation (PSO). Semacam penjaminan pemerintah untuk pengembalian dana investasi agar target tidak meleset, beroperasi pada awal 2019.

Pernyataan Menkeu dipertegas Menteri BUMN Rini Soemarno sehari berselang (8/2). Opsi PSO ditempuh untuk membiayai proyek LRT. Selain PSO, alternatif lainnya adalah penebitan Surat Berharga Syariah Negara atau obligasi syariah.

Proyek LRT mengacu Perpres 65/2016 tentang Perubahan atas Perpres Nomor 98 Tahun 2015 tentang Percepatan Penyelenggara Kereta Api Ringan/LRT terintegrasi di wilayah Jakarta, Bogor, Depok, dan Bekasi. Dimana dalam Perpres 65 mengamanatkan pendanaan LRT melalui APBN.

“PSO itu mekanismenya sulit, berapa jumlahnya yang disetujui dan kemampuan BUMN sendiri bagaimana? Sulit nggak akan sampai itu,” kata Menteri Perhubungan era Presiden Abdurrahman Wahid, Budhi Mulyawan Suyitno, menanggapi rencana PSO proyek LRT Jakarta.

Kepada wartawan di Jakarta Jumat (24/2) kemarin, opsi lain yakni penerbitan surat berharga juga tidak akan mudah. Sebab kunci dari itu semua adalah kepercayaan. Budhi mempertanyakan kenapa harus opsi tersebut yang diambil padahal ada opsi lain yang minim resiko.

Misalnya dengan mengetatkan ikat pinggang pada pos-pos yang tidak efisien. Salah satunya pos anggaran pada litbang di beberapa kementerian yang nilainya mencapai triliunan. Selama ini mereka tidak optimal pemanfaatan dan sasarannya.

Pos lain yang patut dipertanyakan, kata dia, yakni subsidi BBM. Bila zaman Presiden SBY mencapai Rp 400 triliun. Sekarang dengan berkurangnya subsidi seharusnya nilainya lebih besar.

“Itu duit (subsidi BBM) kemana? Mau enggak pemerintah ini buka-bukaan duitnya. Duitnya itu bisa dimanfaatkan untuk pembangunan ini (LRT),” jelas Budhi.

Opsi lain bisa ditempuh dengan menggandeng bank dan membentuk konsorsium perbankan. Ia meyakini bank mempunyai dana apalagi yang dibutuhkan kecil hanya Rp 23 triliun. Kemudian opsi tax deductable-non deductable dengan memberikan potongan pajak pada konglomerat yang mau menghibahkan dananya untuk publict transport.

“Di negara maju semuanya sudah menjalankan program ini. Mereka (konglomerat) juga ingin menghibahkan hartanya untuk pembangunan asalkan mereka mendapatkan keringanan pajak atau potongan pajak,” kata Budhi.

Opsi public private partnership juga bisa ditempuh. Bagaimana pemerintah melibatkan swasta untuk membangun infrastruktur dengan kompensasi dapat membangun pusat bisnis di stasiun simpang hub kereta api ringan.

Dicontohkan, LRT masuk Bogor di dekat Cimanggis. Kepada pengembang properti yang akan membangun perumahan disitu bisa diminta membantu proyek LRT. Dengan catatan konsep dan desainnya LRT dibicarakan bersama.

“Kalau begitu kan enteng kan APBN-nya. Jangan hanya memandang bisnis kereta apinya saja, tapi juga dikaitkan dengan bisnis turunan lainnya,” ucapnya.

Terakhir, Budhi Mulyawan memberikan masukan agar Presiden Jokowi menunjuk orang khusus yang ditugaskan menyelesaikan proyek pembangunan LRT. Tugasnya mendudukkan semua pihak termasuk swasta agar cepat mendapatkan anggaran.

Budhi khawatir jika kondisi yang sekarang terjadi dibiarkan maka proyek LRT akan mangkrak. Keputusan cepat dan tepat penting dilakukan mengantisipasi hal tersebut. Tinggalkan ego sektoral dan pemerintah membuka diri mencari dana secara gotong-royong.

“Kita melihat praktek selama ini tentang PSO itu tidak bisa ditarget dalam hal perolehan dananya dan waktunya. Ini persoalan yang luar biasa mengingat tenggat waktunya sudah semakin mepet, jadi tidak bisa ditangani dengan jalan yang biasa,” demikian Budhi.

Artikel ini ditulis oleh: