Jakarta, Aktual.com – Di bawah pemerintahan Joko Widodo (Jokowi)-Jusuf Kalla (JK) nilai utang luar negeri terus meningkat. Butuh dana besar untuk pembiayaan banyak proyek infrastruktur menjadi alasannya.
Bahkan, pemerintah menyebut rasio utang terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) dianggap masih rendah, hanya 28 persen. Padahal jika ditelisik, debt to service ratio justru terus melonjak.
“Memang selama ini, terkait utang ini klaim pemerintah bahwa rasio utang terhadap PDB masih aman. Sehingga ngutang terus. Padahal itu tidak bisa jadi satu-satunya indikator,” cetus ekonom INDEF, Bhima Yudhistira Adhinegara, di Jakarta, Senin (9/1).
Tapi faktanya, kata dia, ada rasio lain yang mestinya bisa digunakan sebagai indikator pemerintah, yaitu debt to service ratio atau kemampuan bayar utang dinilai dari kinerja ekspor.
“Rasio ini sudah di atas 37 persen dan kenaikannya cukup tinggi selama dua tahun terakhir. Ini mengkhawatirkan, pemerintah doyan ngutang tapi untuk bayar utangnya rendah. Sehingga utang baru untuk bayar utang, bahkan hanya untuk bayar bunga utangnya,” tandas Bhima.
Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menegaskan, dengan kondisi keseimbangan primer di APBN 2017 yang masih defisit, berarti pemerintah akan menarik utang baru untuk membayar bunga utang.
“Keseimbangan primer yang negatif artinya pemerintah telah pada titik di mana kita meminjam untuk melakukan pembayaran interest rate (bunga pinjaman). Hal itu sangat tidak sehat,” jelas Menkeu.
Dengan kondisi tersebut, kata dia, sebagai indikator bahwa pemerintah meminjam bukan untuk investasi di infrastruktur. “Tapi meminjam untuk keperluan men-service utang masa lalu,” keluhnya.
Laporan: Busthomi
Artikel ini ditulis oleh: