Jakarta, Aktual.com — Media sosial akhir-akhir ini ramai memperbincangkan perseteruan antara Pemerintah dengan Kepolisian terkait dengan pengawalan konvoi Harley Davidson. Kasus itu bermula ketika seorang aktivis menghadang rombongan motor besar asal Amerika tersebut.
Kepolisian mengatakan, bahwa konvoi motor gede (atau moge) bisa meminta pengawalan. Hal itu merujuk pada pasal 135 junto pasal 134 UU Lalu Lintas dan Angkutan Jalan poin G yang menyatakan, bahwa pengawalan bisa dilakukan kepada “konvoi dan atau kendaraan untuk kepentingan tertentu menurut pertimbangan petugas Polri.”
“Ini berarti dapat saja konvoi moge meminta pengawalan Polisi jika memang dirasa hal tersebut untuk keamanan lalu lintas, baik kendaraan yang melakukan konvoi maupun kendaraan lain di sekitarnya.”
Namun demikian, pernyataan itu bertolak belakang dengan versi Pemerintah. Sekretariat Kabinet dalam situs resminya, Rabu (19/08) lalu, menyatakan tindakan Kepolisian untuk mengawal dan membunyikan sirine dalam konvoi Harley Davidson di Yogyakarta merupakan tindakan ‘melanggar hukum’.
Dalam rilis tersebut, Setkab juga meminta petugas Kepolisian tidak melakukan pengawalan terhadap konvoi atau iring-iringan motor Harley Davidson. Tapi anehnya, tautan pernyataan dihapus sehari setelah rilis tersebut diunggah.
Perdebatan ini ramai dibicarakan di jejering sosial, pasca seorang aktivis menghadang konvoi motor gede di Yogyakarta yang menerobos lalu lintas.
“Lampu merah! Lampu merah! Lihat tidak!” teriak Elanto Wijoyono dalam video yang menjadi viral di media sosial.
Seorang warga bernama Suryo Wibowo yang juga mendokumentasikan aksi Elanto, mengunggah foto-fotonya di Facebook dengan keterangan, “Civil courage! Pengendara sepeda mencegat konvoi Harley, mengingatkan supaya tidak melanggar lampu merah. Mari kita dukung! Sebarkan.”
Foto tersebut hingga berita ini diturunkan sudah dibagi lebih dari 8.600 kali.
Elanto mengatakan, bahwa aksinya memang sudah direncanakan dari jauh-jauh hari. Dan pihak Kepolisian sudah diinformasikan tentang aksi tersebut.
Perdebatan tentang pengawalan polisi di rombongan motor besar juga telah menghangat sekitar setahun lalu. Namun Elanto mengklaim diskusi yang dilakukan warga dan kepolisian tidak membuahkan “langkah kongkrit”.
“(Konvoi) jelas menganggu, Yogyakarta adalah kota tidak terlalu besar, jalan terbatas, sementara lalu lintas meningkat.”
“Saya melihat ini bukan hanya soal lalu lintas tetapi juga soal pembiaran terhadap pelanggaran. Walau ada perbedaan tafsir, tetapi ketika warga melihat ada pelanggaran dan dibiarkan, kami merasa terganggu.”
Dia mengatakan rindu pada ‘Yogyakarta yang sehat’, karena “beberapa tahun terakhir, pemerintah memberi ruang lebih besar terhadap pemodal dibandingkan pada warganya sendiri.”
“Saya dan warga di lokasi merasa melakukan hal yang benar dan semua sudah diperhitungkan jadi tidak merasa takut,” katanya terkait aksi nekad menghadang motor besar.
Sementara itu, salah satu penyelenggara ‘Jogja Bike Rendezvous (JBR)’ sekaligus anggota Harley Davidson Club Indonesia (HDCI) Yogyakarta meminta maaf dan mengakui kesalahan terkait arogansi motor besar di jalan, kata sejumlah laporan.
Dukungan masyarakat agar Klub Harley Patuh Lalu Lintas
Banyak orang di media sosial menyatakan dukungan kepada Erlanto, namun khawatir jika aksinya justru membahayakan nyawa.
“Semoga makin banyak orang Indonesia yang peduli ketertiban lalu lintas seperti bro Elanto. Jujur saya belum seberani Anda bro. Salut!!!” kata Hendra Martono Nugroho, melalui Facebooknya.
Sebagian pengguna juga menyayangkan tanggapan Kepolisian yang dianggap tidak berpihak pada hukum.
“Reaksi yang terjadi adalah cerminan rasa ketidakadilan yang dialami rakyat saat ini, dan ternyata tanggapan dari penguasa lebih menyakitkan,” kata Eyikos Soekarno.
Di Twitter, pihak kepolisian dikritik melalui tagar #SavePointG, yang merujuk pada pasal multitafsir tentang pengawalan polisi untuk ‘kepentingan tertentu’.
Dalam penjelasan poin G disebutkan bahwa ‘kepentingan tertentu’ yang dimaksud adalah kepentingan yang memerlukan penanganan segera, antara lain: kendaraan untuk penanganan ancaman bom, kendaraan pengangkut pasukan, kendaraan untuk penanganan huru-hara, dan kendaraan untuk penanganan bencana alam.
“Kalau kamu sudah sampai di mana orang salah dibenerin, dan yang bener disalahin, itu berarti kamu udah sampai di Indonesia.- Henny #SavePointG,” cuit @SajakPerlawanan.
Tagar ini mulai digunakan pada 18 Agustus lalu dan hingga kini sudah dikicaukan lebih dari 3.000 kali.
Elanto mengatakan, bahwa tidak menduga jika masyarakat bisa bereaksi sebesar ini, namun dia mengaku senang karena “pesannya tersampaikan kepada publik.” (Sumber: BBC Indonesia dan Facebook)
Artikel ini ditulis oleh: