Jakarta, Aktual.com – Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melaporkan peningkatan rasio non-performing loan (NPL) gross pada Februari 2019 mencapai 2,59 persen, naik dari 2,56 persen pada bulan sebelumnya. Rasio NPL bersih juga meningkat dari 1,13 persen menjadi 1,17 persen pada periode yang sama.
Beberapa analis berpendapat peningkatan ini dikarenakan perlakuan terhadap pinjaman yang telah direstrukturisasi. Glenn M. Yusuf, bankir senior yang juga mantan Ketua Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) berpendapat, NPL masih menjadi masalah utama di sektor perbankan Indonesia dalam kurun waktu beberapa dekade terakhir.
Penyebab paling sering tingginya NPL adalah kegagalan bank untuk mengidentifikasi serta memberikan keputusan debitur mana yang pantas dan mampu diberikan pinjaman. Alasan lain termasuk ketidakpastian ekonomi global dan nilai tukar yang tidak stabil yang turut mempengaruhi perekonomian Indonesia.
“NPL merupakan tantangan besar bagi bank untuk memperoleh keuntungan sekaligus untuk dapat memberikan pinjaman kepada debitur lain. Ujung-ujungnya, hal tersebut akan berdampak negatif terhadap ekonomi nasional. Untuk itu, sektor perbankan Indonesia membutuhkan dukungan untuk menjaga stabilitasnya ,” ujar Glenn, Selasa (25/6).
“Salah satu bentuk dukungan berasal dari kreditur-kreditur baru yang siap membeli NPL dari sebuah bank. Dengan melakukan ini, kreditur akan membantu bank untuk memperbaiki neraca keuangannya sehingga dapat terus memberikan kucuran kredit kepada perusahaan-perusahaan yang dikelola dengan baik dan layak memperoleh pinjaman. Ini adalah praktik yang sangat umum di sektor perbankan baik di lokal maupun di dunia internasional,” kata Glenn.
“Untuk itu, Pemerintah harus melindungi kepentingan kreditur, baik yang lokal maupun dari negara lain, yang telah bersedia membantu bank memulihkan neraca keuangan mereka dan menjaga stabilitas ekonomi negara kita,” kata Glenn.
Bagaimanapun, uang harus dibuat betah dirumah dengan cara menciptakan iklim investasi yang aman dan nyaman, serta memberikan imbal hasil yang menarik. Dan yang tidak kalah penting juga adalah kita harus mampu memberikan kepastian hukum, tambah Glenn.
Kepastian hukum tetap menjadi kekhawatiran utama dari investor luar negeri yang berencana untuk mengalirkan dana segar mereka ke Indonesia. Investor membutuhkan komitmen dan dukungan yang kuat dari Pemerintah Indonesia untuk dapat mampu membangun kerangka hukum dan peraturan yang mendukung iklim investasi di Indonesia.
Presiden Joko Widodo dalam berbagai kesempatan senantiasa menekankan pentingnya mendorong investasi dari luar negeri untuk membangun Indonesia.
Piter Abdullah, ekonom Center of Reform on Economic (CORE), mengatakan bahwa reformasi sistem hukum di sektor bisnis diperlukan untuk membangun kepercayaan investor, khususnya investor luar negeri.
Dia mendukung gagasan bahwa reformasi saat ini hanya dilakukan dengan setengah hati. Piter ingin melihat pemerintah dapat menerapkan kebijakan yang menjamin sistem hukum sehingga dapat memberikan kepastian lebih besar kepada investor, termasuk upaya-upaya untuk menyelesaikan perselisihan secara adil.
“Tanpa kepastian hukum, saya khawatir semakin banyak investor akan berpikir dua kali sebelum masuk ke Indonesia. Agar perekonomian kita tumbuh, Indonesia membutuhkan dana yang sangat besar. Dengan aliran dana yang besar, mungkin akan ada riak-riak kecil terjadi, itu normal. Oleh karena itu, perselisihan bisnis perlu diselesaikan dengan proses yang adil melaui lembaga peradilan yang kuat dan kredibel. Sistem hukum harus bersih dari kepentingan yang ‘bengkok’, serta praktik ilegal ‘jual beli’ keputusan. Hukum harus ditegakkan tanpa memihak. Sayangnya, ini belum terjadi, utamanya dalam proses peradilan niaga,” kata Piter.
Seperti diberitakan sebelumnya, Molucca S.a.r.l, kreditur yang berbasis di Luxembourg, saat ini menghadapi tuntutan hukum oleh PT Pelita Cengkareng Paper (PCP). Kasus ini berasal dari pinjaman yang diberikan oleh Bank Permata kepada PCP di 2013 dalam bentuk modal kerja dengan jaminan untuk pembangunan pabrik kertas baru mereka di Subang, Jawa Barat.
PCP kemudian mengalami banyak masalah operasional sehingga tidak mampu membayar pinjaman sekitar Rp 413 miliar. Hingga saat ini, jumlah pinjaman pokok beserta bunga telah melebihi Rp 512 miliar. Awalnya, PCP mengakui Molucca sebagai kreditur dengan melakukan pembayaran bunga. Namun kemudian mereka berhenti melakukan kewajiban pembayaran mereka tersebut.
Pada tahun 2017, Bank Permata menjual pinjaman PCP ke Molucca karena perusahaan dalam kesulitan keuangan. Penjualan kredit bermasalah oleh Bank Permata membantu bank mengembalikan neraca keuangannya sehingga mampu melanjutkan aktivitas penyaluran kredit kepada perusahaan lain. Sekali lagi, penjualan pinjaman bermasalah kepada kreditur merupakan praktik yang lazim dilakukan di Indonesia dan di seluruh dunia.
Molucca mengakuisisi portofolio pinjaman bermasalah PCP yang dijual, dialihkan dan ditransfer dari Bank Permata, dimana penjualan, pengalihan, dan pemindahan hak atas portfolio kredit bermasalah kepada pihak ketiga sebagai kreditur baru adalah praktik yang biasa dilakukan di Indonesia dan di seluruh dunia.
Molucca berupaya untuk bekerjasama dengan PCP demi meningkatkan kinerja operasional sekaligus merestrukturisasi modal PCP sehingga mampu mendukung kelangsungan operasional PCP jangka panjang. Tanpa banyak kemajuan yang signifikan dari PCP selama lebih dari 12 bulan, pada bulan April 2018 Molucca terpaksa mengajukan Permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) untuk merestrukturisasi utang dan memperbaiki arus kas operasional sehingga diharapkan PCP dapat membayar pinjaman pokok berikut bunga dengan lebih stabil.”
Sayangnya, direksi PCP merespon niat baik ini dengan mengajukan gugatan perdata tidak masuk akal dan tidak berdasar hukum di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat sebagai upaya untuk menggunakan sistem hukum guna menghindari kewajiban pembayaran utang kepada Molucca.
“Sebenarnya, ini adalah kasus yang sangat sederhana. Justru PCP mencoba membuat proses transaksi pinjaman ini seolah lebih rumit menggunakan serangkaian klaim yang tidak masuk akal dan tidak berdasar hukum. Faktanya adalah, mereka terus gagal dalam membayar utang mereka ke Molucca. Di masa lalu, PCP juga telah menolak upaya-upaya rasional untuk merustrukturisasi utang mereka. Kami menduga PCP memilih untuk menggunakan sistem hukum untuk berkilah demi menunda kewajiban hukum mereka,” ujar Kalesta Fong, perwakilan Molucca dalam pernyataannya.
Artikel ini ditulis oleh: