Jakarta, Aktual.com – Menanggapi isi artikel opini dari Gede Sandra di laman aktual.com Jumat (2/3) dengan judul “Pemerintah yang Tengah Panik”, KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA melaui DIREKTORAT JENDERAL PAJAK, DIREKTORAT PENYULUHAN PELAYANAN DAN HUBUNGAN MASYARAKAT menyampaikan hal-hal sebagai berikut:
Terkait Peraturan Menteri Keuangan Nomor 15/PMK.03/2018 tentang Cara Lain Menghitung Peredaran Bruto, saudara menulis bahwa pemerintah dapat menebak dan memprediksi nilai ekonomi usaha wajib pajak, bukan lagi hanya berdasar laporan keuangan. Perlu diketahui bahwa aturan tersebut diterbitkan untuk memberikan kepastian hukum bagi wajib pajak atas metode yang digunakan oleh pemeriksa dalam hal tidak terdapat pembukuan atau pencatatan saat dilakukan pemeriksaan pada wajib pajak yang diwajibkan melakukan pembukuan atau pencatatan.
Mengenai Peraturan Menteri Keuangan Nomor 19/PMK.03/2018 tentang Petunjuk Teknis Mengenai Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan, saudara menyebutkan bahwa pemilik aset warisan akan dikenai pajak tambahan di luar pajak yang telah dibayarkan atas harta tersebut. Sebagai informasi, aturan tersebut hanya mengatur tentang pelaporan rekening milik wajib pajak yang sudah meninggal dan tidak mengatur perlakuan pajak atasnya. Sesuai dengan Undang-undang Pajak Penghasilan, warisan yang belum terbagi merupakan Subjek Pajak. Segala kewajiban pajak yang timbul terkait warisan tersebut dibebankan pada warisan tersebut. Warisan itu sendiri tidak dikenakan pajak.
Sebelumnya ditulis Opini sebagai berikut:
Dalam beberapa waktu terakhir pemerintah seperti terlihat panik. Pertandanya dapat dilihat dari berbagai kebijakan dan rencana kebijakan yang telah dan akan dikeluarkan berikut ini. Yang membuat kita geleng-geleng kepala.
Pertama adalah kebijakan pajak berdasar Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 15 tahun 2018. PMK ini menyatakan bahwa kantor pajak dapat menentukan penghasilan atau omset peredaran bruto atas dasar gaya hidup dari data-data yang tersedia, seperti data tabungan perbankan, hipotek perbankan, dan pemakaian kartu kredit (credit card).
Jadi, pemerintah dapat mengawasi transaksi pembayaran telpon, listrik, pembelian tiket pesawat, pinjaman bank, angsuran bank, pembelian rumah, pembelian mobil, dsb. Otoritas pajak juga sudah seperti intelejen yang dapat menebak dan memprediksi nilai ekonomi usaha wajib pajak, bukan lagi hanya berdasar laporan keuangan wajib pajak.
Kedua adalah kebijakan PMK No 19 tahun 2018. Dalam aturan yang merupakan penambahan dari aturan sebelumnya (PMK No 70 tahun 2017) ini, data warisan milik pajak pribadi juga harus dilaporkan ke Ditjen Pajak. Berlaku bagi warisan yang belum terbagi, jika pemiliki harta sudah meninggal.
Jadi hati-hati kepada para seluruh pemilik aset warisan, yang bersangkutan akan terkena pajak tambahan lagi di luar pajak yang telah dibayarkan untuk si harta tersebut.
Ketiga adalah kebijakan Kementerian Perhubungan menaikkan airport tax Bandara Soekarno-Hatta hingga 40% per penumpang. Kenaikan ini akan dibebankan kepada maskapai-maskapai penerbangan, yang pada gilirannya akan mengerek naik harga tiket pesawat yang dijual kepada masyarakat.
Keempat, yang cukup konyol, adalah rencana gembar-gembor pemerintah akan mengenakan pungutan zakat khusus bagi Aparatur Sipil Negara (ASN) yang beragam Muslim sebesar 2,5% gaji.
Memang belakangan ide ini terus disebarluaskan oleh Kementerian Agama, tapi kita ingat bahwa awalnya yang menggulirkan adalah Menteri Keuangan. Sri Mulyani pernah menyampaikan bahwa dana zakat yang besar bisa dikelola layaknya pajak.
Ide yang sangat kontroversial, mengingat Indonesia bukan Negara Islam, dan cukup banyak ASN yang non-Muslim. Lalu bagaimana aturan yang adil untuk ASN non-Muslim? Bagaimana juga koordinasi dengan lembaga badan zakat daerah dan nasional yang sudah berjalan selama ini?
Dari keempat pertanda di atas, dapat diambil kesimpulan sementara bahwa saking paniknya pemerintah memang menggunakan berbagai cara untuk mengejar kenaikan pendapatan negara.
Sepintas wajar saja mengingat target pajak yang tidak pernah tercapai dari tahun ke tahun, dan terus menurun. Namun, begitu mengetahui pertanda-pertanda berikutnya, kesimpulan dapat berbeda. Ini adalah kepanikan yang berbeda. Bukan lagi panik karena target pajak tidak tercapai.
Kelima adalah rencana pemerintah beberapa hari lalu yang menyebutkan proses pelaksanaan belanja pemerintah akan menggunakan kartu kredit.
Pemerintah menyatakan bahwa ini adalah suatu kebijakan uji coba. Jelas uji coba, karena memang tidak umum diterapkan di negara maju seperti Amerika Serikat atau yang lainnya, yang belanja pemerintahnya menggunakan cek pemerintah (government cheque).
Menjadi masalah kemudian, bagaimana dengan bunga kartu kredit yang cukup besar? Lalu, utang kartu kredit akan masuk ke pos anggaran yang mana? Bila alasannya hanya demi efisiensi dan akuntabilitas, mengapa pemerintah tidak menggunakan cash card dari perbankan, yang tidak memiliki bunga (hanya dikenakan biaya administratif)?
Keenam adalah pertanda dari Bank Indonesia (BI). Pada akhir Januari 2018, BI kembali melakukan pelonggaran ketentuan Giro Wajib Minimum (GWM) dari sebesar bagi bank umum konvensional dan bank syariah.
Kebijakan GWM adalah simpanan minimum dalam rupiah atau valas yang wajib dimiliki oleh perbankan dalam rekening BI, yang besarannya ditetapkan dalam rasio terhadap dana pihak ketiga. Seperti diketahui, kebijakan pelonggaran GWM hanya dilakukan bila terjadi situasi kekurangan likuiditas dalam sistem perbankan. Karena bila yang terjadi ekses likuiditas, BI akan merespon sebaliknya dengan menaikkan GWM.
Berdasarkan enam pertanda di atas kita dapat mengambil simpulan pertanyaan: apakah pemerintah panik karena terjadi mismatch dalam likuiditas? Tidak sesuai perkiraan tempo antara pengeluaran dan pemasukan. Benarkah likuiditas kita yang sedang bermasalah??
Oleh: Gede Sandra