Jakarta, Aktual.com – Langkah kandidat Presiden Amerika Serikat, Hillary Clinton dibuat terhuyung oleh lawannya, Bernie Sanders, seorang senator tidak populer dari negara bagian kecil Vermont. Setelah Sanders dalam kampanye membeberkan ada pemodal besar Wall Street yang menyokong Clinton. Yang dimaksud Sanders yakni perusahaan keuangan Goldman Sachs. Clinton tak bisa mengelak, dia mengakui itu. Dia pun menuai cerca dari kalangan pemilih muda. Clinton dianggap akan lebih membela kepentingan kaum pemodal, dan bukan warga kebanyakan jika terpilih kelak.

Belasan ribu kilometer dari Negeri Paman Sam, yakni Indonesia, kondisi yang mirip diduga sedang terjadi. Yakni jelang Pilkada DKI 2017.

Adalah Dr. Margarito Kamis, yang dikenal sebagai ahli hukum tata negara Indonesia yang menilai ada kesamaan antara Clinton dengan bakal calon petahana Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). Meskipun terlalu timpang membandingkan pemilihan presiden di AS dengan pemilihan gubernur di Jakarta, namun menurut Margarito, kesamaannya adalah: sama-sama diduga disokong pihak swasta (baca: pengembang) di belakangnya.

Bedanya, Clinton sudah mengaku, sedang Ahok pernah mengaku tapi kemudian membantah. Namun Ahok sudah terlanjur santer disebut-sebut disokong oleh pengembang properti raksasa di belakangnya, seperti Agung Podomoro ataupun Agung Sedayu misalnya.

Margarito pun mencuatkan kembali ‘cerita lama’ kait mengkait hasrat pengembang ikut nimbrung di urusan kancah politik.

Tutur pria kelahiran Ternate itu, di Amerika Serikat sudah sejak lama korporasi membentuk lembaga-lembaga pemikir (think tank). Lembaga itu, tidak lagi secara spesifik bicara teknis perusahaan. Tapi justru lebih banyak membahas kondisi sosial politik dan demokrasi. “Mereka tampak sebagai lembaga pemikir saja,” ujar peraih gelar Doktor dari Universitas Indonesia itu, kepada Aktual.com, pekan lalu.

Lalu apa tujuan mereka (baca: pemodal) membentuk lembaga pemikir semacam itu? Margarito menjawab, meski terlihat hanya sebagai lembaga pemikir sosial, tapi jelang musim pemilu mereka justru gencar menjadi lembaga ‘pemasok’ orang-orang untuk masuk di lembaga eksekutif, legislatif dan sebagainya.

Saat sudah berhasil menyusup masuk lembaga-lembaga negara, maka orang-orang ‘bentukan lembaga think tank’ itu tentu akan bekerja demi memikirkan kepentingan korporasi. Itulah yang umumnya terjadi di Amerika. “Sehingga menjadi negara ‘cukong’,” ujar dia.

Di Indonesia, atau di Jakarta khususnya, menurut Margarito kondisi ini sudah berlangsung. “Bahkan bisa saya pastikan, dalam 10 tahun mendatang lembaga-lembaga negara di Indonesia bakal dikuasai cukong-cukong,” ujar dia.

Diakui dia, memang sudah sangat umum dalam pemilu, seorang calon kongkalikong dengan korporasi. “Pasti, mana ada pemilu tidak pakai uang. Dan siapa yang punya duit kalau bukan korporasi. Mana ada sekali lagi pemilu tanpa uang, pasti pakai duit dan itu nilainya besar-besar apalagi untuk pilpres,” kata dia.

Dia mencontohkan Wagub Jawa Barat Deddy Mizwar yang geleng kepala setelah melihat angka rancangan anggaran Pilkada Jabar yang mencapai Rp3 triliun. “Dia (Deddy) sampai geleng-geleng kepala. Tapi untuk mobilisasi massa di daerah yang sedemikian besar ya pasti butuh anggaran besar. Minimal buat nasi bungkus saja pakai duit kan? Dan itu uang ada di korporasi.”

Lalu bagaimana dengan di Jakarta? Margarito menjawab, apalagi di Jakarta. Sebagai pusat beredarnya uang di negara ini dan membuat orang begitu tergiur untuk bisa tinggal di Jakarta. Ditegaskan dia, sudah kuat disinyalir berbagai pihak pilkada DKI tidak bisa dilepaskan dari peran cukong.

Kaitan dengan Proyek Reklamasi

Meski mengaku tidak punya data untuk memastikan ada keterkaitan antara megaproyek membuat pulau-pulau reklamasi dengan agenda politik para cukong di Jakarta, namun Margarito melihat ada fenomena menarik yang jadi garis merah.

Mulai dari adanya pembangunan reklamasi, ada pembentukan Undang-Undang untuk reklamasi, lalu ada kejadian elemen legislatif DKI yang disuap agen korporasi, juga sikap Pemprov DKI (baca Ahok) yang begitu ngotot mendorong reklamasi terus dilanjutkan.

“Ini menarik untuk ditelusuri,” ucap dia.

Dia juga menyinggung soal mencuatnya nama ‘anak magang’ Ahok, yakni Sunny Tanuwidjadja,  yang disebut-sebut terkait dengan pengembang dan CSIS. (Baca: 
Sunny Tanuwidjadja: Si ‘Anak Magang’ Ahok dan Peneliti CSIS)

Kendati demikian, Margarito mengaku tidak mau menyimpulkan terlalu jauh. Kata dia, biar masyarakat sendiri yang menyimpulkan ada atau tidaknya kait mengait antara gonjang ganjing proyek reklamasi dengan sepak terjang Ahok jelang Pilkada DKI.

Margarito lebih memilih mengomentari pernyataan Ahok yang berkali-kali mengutarakan kekhawatiran jika proyek reklamasi dihentikan. Yakni takut dapat gugatan dari pengembang dan bukan karena alasan takut merugikan warga pesisir Teluk Jakarta.

Ditegaskan Margarito, ketakutan Ahok sangat tidak berdasar. Bahkan dia persilahkan para pengembang untuk ajukan gugatan saja jika memang benar merasa dirugikan oleh adanya moratorium (penghentian sementara) reklamasi. Atau jika izin reklamasinya kelak dicabut.

Sebab, kata dia, hukum di Indonesia memastikan benda atau uang milik negara tidak bisa disita untuk apapun dan alasan apapun, termasuk gugatan dari pengembang. Itu diatur di UU Tentang Keuangan Negara. “Saya pastikan sampai hari kiamat tidak akan bisa gugatan dari pengembang. Jadi kalau mereka (pengembang) mau perkarakan, ya silahkan saja,” tantang dia.

Ketiadaan Amdal dan Pidana Lingkungan

Margarito juga menilai, jika memang moratorium diberlakukan karena adanya pengembang yang tidak kantongi Amdal, maka itu berarti jelas ada perusakan lingkungan. Sehingga para pengembang harusnya bisa dijerat dengan hukum pidana lingkungan.

“Peristiwa ini sudah terjadi, harusnya pengembang kena sanksi pidana lingkungan. Pemerintah harus sudah mulai berpikir untuk laksanakan pidana lingkungan. Kita harusnya dorong Menko Maritim Rizal Ramli agar menerapkan pidana lingkungan kepada para pengembang reklamasi,” kata dia.

Dikutip dari situs Mogabay.co.id, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya mengatakan pihaknya menemukan banyak dugaan pelanggaran di proyek reklamasi Teluk Jakarta. Dalam peraturan Gubernur tahun 2012, ada dua tahap Amdal, yakni Amdal reklamasi dan Amdal infrastruktur.

Tapi temuan KLHK, Amdal reklamasi tidak semua pengembang mengantongi. Ada yang sudah jadi, sedang dilaksanakan, selesai dan masih rencana. Namun semuanya tidak ada yang mengantongi Amdal infrastruktur, untuk jembatan, jaringan listrik, pengolahan limbah, dermaga, maupun gedung-gedung baik hotel, sampai pemukiman.

“Pulau D reklamasi sudah terbangun, sudah banyak infrastruktur dan gedung-gedung. Dalam catatan kami tanpa dilengkapi Amdal, UKL/UPL dan izin lingkungan. Bahkan tak ada IMB.”

Artikel ini ditulis oleh: