Jakarta, Aktual.com – Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Natalius Pigai mengungkapkan tepat tanggal 8 Desember, genap dua tahun tragedi berdarah di Lapangan Karel Gobay Paniai. Peristiwa kejahatan kemanusiaan itu terus mendapatkan perhatian rakyat Papua dan dunia internasional.
“Dua tahun Presiden Jokowi memimpin negeri ini dibayangi Tragedi Paniai, 2 tahun pula Jokowi membisu di atas jeritan, rintihan dan ratapan rakyat Paniai,” ujar dia dalam keterangan tertulisnya, Kamis (8/12).
Putra asli Papua itu menyatakan tragedi berdarah Paniai bagi rakyat Paniai dan Papua umumnya sangat penting. Bagi Komnas HAM sendiri tragedi tersebut bukan masalah sepele yang harus ditinggal diam.
“Kami ingin sampaikan bahwa Masyarakat Paniai minta TNI dan Polri umumkan hasil penyelidikan yang pernah dilakukan, Komnas HAM sudah kirim surat ke Menkopolhukam tapi Pemerintah tidak mau mengumumkan bahkan terkesan menutupi pelaku.”
Diungkapkan, hasil penelusuran Komnas HAM terhadap kasus tersebut kesalahan berada di tangan pemerintah. Pemerintah Jokowi disampaikan dia menutup-nutupi pelaku, khususnya terkait hasil penyelidikan institusi TNI dan Polri.
Masyarakat Paniai sudah cerdas belajar dari kasus-kasus sebelumnya. Dimana semua pelaku tidak pernah terbukti karena TNI dan Polri tidak pernah mengumumkan pelakunya bahkan terkesan menyembunyikan pelakunya.
Terkecuali, jika masyarakat atau keluarga korban mau melakukan otopsi. Sementara otopsi sendiri ada benturan dengan budaya. Karenanya satu-satunya jalan keluar adalah TNI dan Polri harus mengumumkan hasil penyelidikannya.
“Setelah orangnya ketahuan baru Komnas HAM bisa melakukan penyelidikan Pro justisia UU 26 tahun 2000 tentang HAM berat.”
Komnas HAM, juga meluruskan mengapa tidak melakukan penyelidikan sejak setahun lalu. Yakni tidak mau menipu rakyat karena alat bukti untuk menunjukkan orang (pelaku) sulit diketahui, kecuali komandan atau kesatuannya saja yang bisa kami tahu.
“Pelaku akan sulit, lain halnya kalau TNI dan Polri tunjuk atau pelaku mengaku sendiri, autopsi.”
Belajar dari pengalaman hasil penyelidikan Komnas HAM semua sulit dibuktikan. Semua bukti tidak ada yang kuat termasuk Wamena dan Wasior sehingga jika dibawa ke pengadilan pelakunya dimungkinkan akan bebas.
Atas dasar itu pula Komnas HAM tidak mau mengalami hal serupa. Sementara masyarakat Paniai sendiri ingin pelaku diberi hukuman berat sesuai dengan UU 26 tahun 2000 yang hukumannya mati kepada si pelaku. “Kami apresiasi cara advokasi rakyat Paniai yang konsisten minta negara melalui TNI dan Polri umumkan pelakunya,” kata dia.
Jika kemudian Komnas HAM ‘dipaksa’ menyelidiki tragedi Paniai, Pigai memastikan hal itu pekerjaan penyelidikan beraroma politik dan bukan Komnas HAM murni. Padahal, Komnas HAM adalah pekerja kemanusiaan bukan pekerjaa politik.
Demikian halnya jika Komnas HAM dipaksa pemerintah melalui Menkopolhukam untuk melakukan penyelidikan, hal itu merupakan bukti nyata adanya intervensi negara sebagai aktor pelaku dalam sistem kerja Komnas HAM sebagai lembaga independen.
“Siapa yang salah dan menghambat dalam penyelidikan kasus Paniai, maka saya menduga negara dalam hal ini Presiden Joko Widodo dengan sadar dan sengaja menutupi pelaku karena tidak mau kehilangan muka.”
“Apapun ceritanya, sikap Jokowi yang membisu diatas jeritan kemanusiaan rakyat Papua telah menjauhkan orang Papua dari rasa nasionalisme dan sukses memantapkan labilitas integrasi politik Papua.”
“Sudah terlalu lama orang Paniai telah menderita, ditangkap, dianiaya, disiksa, dan dibunuh saban hari tanpa henti. Penuh ketakutan, rintihan, ratapan, tangisan, kesedihan, saban hari menghiasi orang Paniai. Mereka hidup ibarat daerah jajahan.”
Natalius Pigai berharap perjuangan masyarakat Paniai nantinya akan membuahkan hasil. Yakni keadilan setujuhnya, setidaknya untuk sekali ini saja dari Presiden Jokowi.
Laporan: Soemitro
Artikel ini ditulis oleh:
Wisnu