Kedua, para arkeolog berjasa mengkonstruksi ulang kisah agama.

Ketigam setelah Nabi tiada, tiada pula tafsir tunggal agama, yang tersisa adalah perebutan tafsir. Sehingga, penting kita memilih tafsir yang sesuai dengan prinsip HAM.

Keempat, Muslim Eropa memgembangkan tafsir Islamnya sendiri yang sesuai dengan kultur Eropa. Kita pun di Indonesia tak perlu terikat dengan tafsir kultur Timur Tengah.

Kelima, bagi yang tak meyakini agama, maka dapat menikmatinya sebagai sastra. Apa yang terjadi pada kitab suci La Galigo dapat juga terjadi pada agama lain.

Keenam, pentingnya mencari intisari semua agama berdasarkan the science of happiness dan neuro science. Denny JA mengembangkan spirituality of happiness.

Ketujuh, mendekati agama sebagai kekayaan kultural milik bersama. Merayakan hari besar agama lain sebagai social gathering lintas agama.

Kedelapan, LGBT sebagai isu HAM masa kini. Pentingnya mengembangkan tafsir agama yang tidak mendiskriminasi kaum LGBT.

Kesembilan, perlunya menggandeng Science dan Jalaluddin Rumi.

Menurut Gaus, di antara pemikiran Denny JA yang terpenting dan sangat dibutuhkan saat ini ialah pandangannya bahwa agama perlu didekati sebagai kekayaan kultural milik bersama umat manusia.

Pandangan semacam ini menjadi modal sosial dan modal kultural untuk membangun masyarakat yang damai dan toleran.

Artikel ini ditulis oleh:

Tino Oktaviano