Jakarta, Aktual.com – Rencana sidang paripurna DPD RI dengan agenda pemilihan Ketua DPD pada 3 April 2017 dinilai melanggar etik. Apalagi, calon yang mau diusung sebagai Ketua DPD adalah pimpinan parpol.
“Apabila tetap ada sidang paripuran dengan agenda pemilihan pimpinan baru maka itu jelas pelanggaran etik. Karena sudah keluar putusan MA yang membatalkan Tatib DPD terbaru No.1 Tahun 2017,” kata pakar komunikasi sekaligus pengamat politik Tjipta Lesmana dalam diskusi publik “Pertarungan Hukum Vs Etika” oleh Aliansi Nusantara di Kampus Atmajaya, Jakarta, Kamis (30/3).
Tjipta merasa miris dengan kondisi DPD saat ini. Di tengah kewenangannya yang serba terbatas, DPD saat ini malah sudah banyak teracuni dengan masuknya partai politik yang membuat DPD tidak lagi seperti periode pertama diera reformasi.
“Belum selesai di situ, sekarang masa pimpinan Ketua DPD malah mau dikurangi dari lima tahun menjadi dua setengah lima tahun. Kalau kondisinya seperti ini terus DPD bisa tambah hancur,” katanya.
Sementara itu, Taufiqqurrahman Syahuri Komisioner Komisi Yudisial mengatakan, bila ada anggota DPD yang merasa sidang paripurna pada 3 Maret besok melanggar etika. Maka ia menyarankan untuk melaporkan hal itu kepada Badan Kehormatan agar tindak lanjuti.
“Kalau masyarakat menilai bahwa jika masyarakat menilai pimpinan DPD itu ketua parpol, adalah konflik kepentingan maka itu adalah pelanggaran etika sehingga boleh masyarakat menyampaikannya ke Badan Kehormatan,” katanya.
Bahkan boleh kata dia, DPD diperbolehkan untuk memanggil pakar untuk membahas persoalan etika tersebut. “Untuk itu DPD harus cepat mengambil peran kalau situasi politik DPD RI masih seperti ini, maka lembaga ini sangat rawan untuk dibubarkan. Tentu kita tidak ingin DPD seperti ini terus,” jelasnya.
Sedangkan Anggota DPD AM Fatwa menilai, banyaknya anggota DPD yang bergabung dengan partai politik menurutnya tidak masalah, lantaran tidak ada aturan atau konstitusi yang melarangnya. Meski demikian ia tidak setuju bila calon ketua DPD itu adalah juga pimpinan partai politik. Ia menganggap itu bagian dari pelanggaran etika.
“Kalau DPD dibubarkan saya kira tidak perlu meski banyak anggota DPD dari parpol, yang terpenting tidak mencalonkan diri sebagai ketua, karena kan di atas hukum itu masih ada etika,” katanya.
Di tempat yang sama, pakar hukum Tata Negara, Bivitri Susanti mengatakan, bagi pihak yang tidak setuju dengan diadakannya sidang paripurna maka bisa menjadikan putusan MA yang membatalkan tartib DPD RI No.1 tahun 2017 dan pembatalan tartib DPD RI No.1 tahun 2016, landasan hukum.
“Jadi saya kira ini adalah cara legal untuk bisa mempertahankan kewenangan DPD yang sudah ada. Saya juga sangat setuju ini dilanggar DPD bisa membentuk komite etik,” jelasnya.
Diketahui, MA memutuskan untuk mencabut Peraturan DPD RI Nomor 1 Tahun 2016 tentang Tatib yang salah satu poinya adalah memangkas masa kepemimpinan Ketua DPD dari lima tahun menjadi dua setengah tahun. Putusan itu tertuang dengan Nomor 38 P/HUM/2016 yang ketok pada 20 Februari 2017 oleh Ketua Majelis hakim Supandi.
Artikel ini ditulis oleh:
Antara
Andy Abdul Hamid