Suasana rapat paripurna penutupan masa sidang II di gedung Perlemen, Jakarta, Kamis (15/12/2016). Badan Legislasi (Baleg) DPR memutuskan secara resmi memasukkan revisi Undang-undang Nomor 14 Tahun 2014 tentang perubahan UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (UU MD3) ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2016. Keputusan ini diambil dalam rapat bersama Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly. AKTUAL/Tino Oktaviano

Jakarta, Aktual.com – Sidang paripurna DPD dengan agenda pemilihan ketua, Senin (3/4) melanggar hukum bila tetap dilaksanakan. Apalagi, sidang paripurna DPD ini mengacu pada Tata Tertib Nomor 1 Tahun 2017 tentang Tata Tertib DPD soal masa jabatan pimpinan DPD yakni 2,5 tahun.

“Putusan MA ini secara legal sudah kuat‎, bersifat final dan mengingat mengembalikan masa jabatan Ketua DPD menjadi lima tahun merujuk pada Peraturan DPD RI No 1 Tahun 2014 mengenai Tata Tertib,” ujar pakar hukum tata negara Bivitri Susanti di Jakarta.

Terlebih, tata tertib tersebut sudah dibatalkan oleh Mahkamah Agung dengan ‎ mengeluarkan putusan terkait gugatan uji materi tata tetib DPD Nomor 1 Tahun 2016 dan tata tertib DPD Nomor 1 Tahun 2017 ‎yang mengatur masa jabatan pimpinan DPD, yakni 2,5 tahun.

Menurutnya, kalaupun DPD mau mengadakan sidang paripurna dengan agenda pemilihan ketua DPD, maka tidak bisa dengan menggunakan sistem kocok ulang. Artinya, pemilihan Ketua DPD yang baru hanya bersifat meneruskan masa jabatan Irman Gusman sebagai Ketua DPD yang kini sudah dinon aktifkan karena terlibat korupsi.

“Kalaupun mau diadakan sidang paripurna bisa saja dengan meneruskan masa jabatan Irman, bukan malah merubah sistem dengan mengganti masa jabatan menjadi 2,5 tahun,” katanya.

Lebih lanjut Bivitri mengatakan, bila DPD tetap bersikekeuh mengadakan sidang paripurna dengan mengganti sistem. Maka ketua DPD yang terpilih secara otomatis cacat hukum. Selain itu, kondisi ini akan semakin memperburuk citra dan kewibawaan DPD yang dianggap minim prestasi.

“Saya kira ini konsekuensinya jelas akan menjatuhkan wibawa DPD, karena terjadi pelanggaran hukum. Ketua yang terpilih juga legitimasinya sangat rendah. Dan saya yakin ini akan terus dipersoalkan, menambah citra buruk DPD,” jelasnya. ‎

Bivitri juga sempat menyinggung soal banyaknya anggota DPD masuk partai politik. Ia yakin gelombang itu tidak akan menambah baik kinerja DPD, tapi justru memperburuk. “Saya kira pendapat yang mengatakan masuknya unsur parpol di DPD akan memperkuat peran DPD, itu sebagai logika tanpa dasar. Karena faktanya tidak ada. Justru mereka sibuk ngurus partai bukan daerah,” terangnya.

Sama halnya dengan Bivitri, Pakar Komunikasi Politik Tjipta Lesmana mengatakan, dengan dibatalnya Tata Tertib oleh MA, maka masa kepemimpinan DPD tetap lima tahun. Ia menilai ‎Tata Tertib DPD Nomor 1 Tahun 2016 dan Tata Tertib DPD Nomor 1 Tahun 2017 yang sudah dibatalkan sebagai anak haram.

“Karena peraturan itu dianggap sebagai anak haram oleh MA, apapun yang dihasilkan oleh paripurna menjadi tidak berarti. Ingat MA ini sebagai lembaga hukum tertinggi,” katanya.

Tjipta juga yakin kalau pemilihan ini tetap dipaksakan, MA tidak akan mau melantik ketua DPD yang baru. ‎”Saya yakin kalau terjadi pemilihan dengan ketentuan 2,5 tahun, MA tidak akan datang untuk melantik. Karena kalau melantik sama saja MA menelan putusannya sendiri, karena dia sudah membatalkan,” jelasnya.

Ia menghimbau kepada anggota DPD untuk membaca risalah dibentuknya DPD di era reformasi. Menurutnya, semua pastinya tahu DPD dipilih sebagai wakil daerah berdasarkan perorangan bukan parpol, yang tujuannya untuk memperkuat wakil rakyat. Karena DPR ini dianggap kurang mewadahi kepentingan daerah‎.

“Anggota DPD mesti baca lagi risalah dibentuknya DPD. Sepertinya mereka lupa, kalau anggota DPR diambil dari parpol sementara DPD dari perorangan yang merupakan tokoh daerah,” jelasnya.

Sementara itu, pengamat politik Idira Samego mencermati situasi DPD ini sengaja dibuat-buat oleh politisi dengan mencoba merubah aturan seenaknya sendiri. Tanpa mempedulikan lagi aturan yang berlaku. Bahkan, ia tetap merasa apa yang dilakukan adalah suatu kebenaran.

“Politisi ini memang panjang akalnya, apa yang tidak bisa dibisa-bisakan, dan DPD saya kira dampaknya akan lebih parah kalau politisi ini terus bermunculan masuk di ruang-ruang DPD‎,” katanya.

Hasrat DPD ingin mengubah aturan masa kepemimpinan menjadi 2,5 tahun kata dia, lebih kepada ingin mengejar jabatan prestis‎ius atau untuk kebanggaan, bukan semata-mata untuk kepentingan kemajuan DPD. “Karena semangat dibentuknya DPD dari awal tidak mengatur, aturan yang yang aneh-aneh,” jelasnya.

Laporan: Ant

Artikel ini ditulis oleh:

Antara
Andy Abdul Hamid