Ilustrasi: Tes HIV

Surabaya, Aktual.com – Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya aktif mengimplementasikan berbagai langkah dalam pengendalian Human Immunodeficiency Virus (HIV) dengan memperluas layanan dan memasifkan kegiatan skrining HIV terhadap seluruh kelompok populasi berisiko.

Menurut Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) Kota Surabaya, Nanik Sukristina, yang menyampaikan keterangan di Surabaya pada hari Sabtu, upaya perluasan layanan pemeriksaan HIV telah dilakukan melalui 122 titik layanan, termasuk di 63 puskesmas, 57 rumah sakit, dan 2 klinik utama.

“Sementara itu, untuk memberikan layanan dukungan, perawatan, dan pengobatan HIV, kami telah menyediakan 52 titik layanan di 38 puskesmas, 13 rumah sakit, dan 1 klinik utama,” ungkap Nanik.

Pemkot Surabaya terus mengembangkan kerja sama dengan komunitas peduli HIV untuk mendukung upaya pencegahan dan pengendalian penularan virus. Hingga Oktober 2023, jumlah kasus HIV yang tercatat di Kota Surabaya mencapai 1.122, dengan 53,47 persen berasal dari penduduk yang terdaftar di Surabaya dan 46,52 persen dari luar Surabaya. Angka ini mengalami peningkatan dari tahun sebelumnya yang mencatatkan 827 kasus.

“Namun, jika dilihat dari penduduk Surabaya, terjadi penurunan sebesar 17,39 persen dalam penemuan kasus HIV pada tahun 2023 dibandingkan tahun 2022,” tambahnya.

Nanik juga mencatat distribusi kasus HIV pada anak dengan usia ≤14 tahun sebanyak 7 kasus, mengalami penurunan satu kasus dari tahun sebelumnya. Risiko penularan HIV pada anak disebabkan oleh kurangnya kepatuhan minum obat antiretroviral (ARV) oleh ibu yang terinfeksi HIV, karena kurangnya dukungan dari keluarga dan ketidakberdayaan istri terhadap permasalahan kesehatannya.

“Sebagai upaya pengendalian, Surabaya terus melibatkan semua kelompok berisiko dalam kegiatan pemeriksaan HIV, tanpa memandang status kependudukan,” ucapnya.

Pihak berwenang juga terus melakukan pemeriksaan HIV secara mobile di tempat-tempat yang diidentifikasi sebagai potensi kelompok berisiko. Selain itu, pemeriksaan Early Infant Diagnosis bagi bayi usia minimal 6 minggu dilakukan secara rutin, dan skrining HIV dijalankan setiap 3 bulan sekali untuk kelompok berisiko.

Pemberian pengobatan ARV Test and Treat juga diberikan secara gratis, sementara akses pengobatan HIV diperluas di puskesmas dan rumah sakit.

“Kami membentuk pendamping sebaya dari komunitas ODHIV di wilayah kerja untuk memberikan dukungan psycho-sosial. Dukungan PMT juga diberikan kepada ODHIV untuk memelihara kesehatan dan meningkatkan daya tahan tubuh, melalui pendampingan, konseling, dan kunjungan rumah (home care) untuk memperkuat kondisi psikologis pasien,” lanjutnya.

Penguatan Kelompok Dukungan Sebaya (KDS) melibatkan ibu hamil dengan HIV dan anak-anak yang terinfeksi HIV terus diupayakan, termasuk penguatan konseling oleh dokter atau psikolog di layanan HIV, baik untuk pasien, pasangan pasien, maupun keluarga.

Artikel ini ditulis oleh:

Sandi Setyawan