Jakarta, Aktual.com — Beberapa hari lalu, DPRD DKI Jakarta menyerahkan rancangan Perda Kawasan Tanpa Rokok ke Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). Ahok menyebut Raperda itu jadi momentum untuk memberi perlindungan warga DKI dari asap rokok.
Terkait hal itu, Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Enny Sri Hartati, mengingatkan, setiap kebijakan yang dirancang pemerintah, sudah seharusnya tidak memojokkan kelompok tertentu. Menurut dia, harus selalu ada keseimbangan keadilan regulasi.
Pasalnya, instrumen untuk rokok juga saat ini sudah begitu banyak alias over regulated sehingga tidak perlu ditambah-tambah lagi.
“Prinsipnya kan hanya mengendalikan, UU sendiri tidak ada kata melarang rokok. Makanya, kan ada cukai, bahkan yang mestinya dilarang itu minuman keras,” tegas Enny, saat dihubungi wartawan, Kamis (18/3).
Enny mengingatkan, Mahkamah Konstitusi dalam putusan atas uji materi pasal 115 ayat 1 UU Kesehatan No 36 tahun 2009, dengan tegas diperintahkan agar disediakannya tempat khusus merokok di tempat kerja, tempat umum, instansi pemerintah
Nah, menurut Enny, DPRD DKI Jakarta dan Pemerintah Provinsi juga seharusnya lebih memperhatikan aspek polusi dari kendaraan bermotor yang masih bermasalah di Jakarta tidak terlalu jauh mengatur ketat soal industri tembakau dalam hal ini konsumsi rokok.
“Anda bayangkan, ketika di luar area publik, asal knalpot metromini kopaja yang sudah tua juga banyak dihirup warga Jakarta dan juga lebih berbahaya karena timbal besi. Belum lagi knalpot motor-motor yang dimodifikasi, itu juga harus disosialisakan dampak bahayanya,” sindir Enny.
Ia heran, minuman keras yang notabene lebih berbahaya dari tembakau, justru selama ini tidak pernah ada protes berlebihan dari aktivis kesehatan, sebagaimana terjadi pada industri tembakau. Padahal, miras lebih berbahaya.
“Ini tidak banyak protes sebagaimana terhadap tembakau,” kritik Enny.
Ia mengingatkan, saat ini instrumen pengendalian rokok dengan cukai yang tinggi sudah diterapkan pemerintah. Seharusnya, pemerintah juga memberantaskan peredaran rokok ilegal yang notabene merugikan industri.
Mereka yang mengkritik keras industri tembakau juga harus tahu bahwa ada Roadmap Industri Hasil Tembakau dimana di dalamnya sudah terintegrasi antara produksi rokok, target konsumsi, dan target penerimaan cukai sebagai instrumen pengendalian.
“Didalam road map sudah diatur jumlah maksimal produksi termasuk memenuhi target penerimaan negara,” tegasnya.
Menurut Enny, aktivis kesehatan juga tidak boleh egois dengan habis-habisan melarang rokok tembakau karena di undang-undang pun hanya ada kata pengendalian bukan larangan. Jangan kemudian karena kegagalan pemerintah mengendalikan, kemudian rokok dituding menjadi haram.
“Jangan karena instrumen yang ada tidak efektif, ketika pengendalian gagal, seakan akan rokok menjadi haram,” kritik Enny.
Untuk itu, negara wajib berlaku adil dan memberikan kesempatan seluasnya bagi semua pihak untuk berusaha, termasuk kepada IHT. Sementara terhadap sektor kesehatan, ada Kementerian Kesehatan yang bertanggungjawab terhadap kesehatan.
Dengan kontribusi IHT melalui pungutan cukai dan pajak yang sudah mencapai 65% masuk ke kas negara, sesungguhnya IHT adalah BUMN yang dikelola oleh swasta, sehingga yang benar sesungguhnya IHT bersama pemerintah bersinergi.
Artikel ini ditulis oleh:
Eka