Jakarta, Aktual.com – Dugaan salah tangkap kembali menimpa seorang pemuda miskin yang bernama Didit. Didit dituduh telah menghilangkan nyawa Yosafat usai terjadi bentrokan warga antara warga Margahayu dengan Rawa Semut yang terjadi pada 21 Juni 2015 di Bekasi, Jawa Barat.

Kuasa hukum Didit dari Lembaga Bantuan Hukum Jakarta (LBHJ), Johannes Gea menjelaskan, anggapan salah tangkap tersebut berdasarkan proses penanganan perkara yang terbilang cepat yakni enam jam dan kepolisian tidak serta melakukan uji forensik, sidik jari dan lainnya.

“Dugaan salah tangkap ini karena proses penangkapan tersangka berlangsung cepat dalam 1×24 jam sudah ada pelaku ya. Kasus ini enam jam terungkap pelakunya. Dengan jaman sudah modern dan canggih, seharusnya bisa dilakukan uji forensik, sidik jari, tes darah, dan dna sebenernya bisa diketahui siapa sebenernya pelakunya. Tapi, polisi tidak melakukan itu. Karena yang dikejar polisi cuma pengakuan,” ucapnya di sela konferensi pers di LBHJ, Menteng, Jakarta Pusat, Minggu (3/12).

Johannes menambahkan, bahwa dalam pemeriksaan kepolisian, Didit dipaksa untuk mengakui pembunuhan tersebut.

“Saat meminta keterangan saksi-saksi, Didit termasuk dimintai keterangan. Saat proses tersebut Didit mendapatkan penyiksaan dari polisi Polres Bekasi sejak saat penangkapan dan dipaksa untuk membuat pengakuan bahwa Didit lah yang menghilangkan nyawa Yosafat,” tuturnya.

Oleh sebab itu, Johannes mengatakan jika pola kerja polisi yang seperti itu tidak proesional.

“Dalam kasus ini, kami bilang polisi tidak profesional, karena hanya mengejar pengakuan dengan cara penyiksaan. Masih menggunakan gaya lama,” imbuhnya.

Padahal, menurut Johanes berdasarkan kesaksian dua orang saksi mata yakni A dan L, yang dihadirkan LBHJ dalam persidangan, yang keduanya melihat langsung peristiwa pembunuhan tersebut, mereka berdua menerangkan jika Didit bukan pelakunya.

Selain dua orang saksi yang dihadirkan oleh LBHJ, ahli forensik pun dihadirkan untuk menguatkan keterangan saksi, bahwa barang bukti senjata pelaku yang disebutkan menggunakan cocor bebek tidak terbukti, karena ujungnya tumpul dan bengkok. Justru, pembunuhan tersebut lebih cocok menggunakan celurit.

“Paling ganjil, barang bukti yang dihadirkan dalam persidangan mirip seperti ini (cocor bebek). Yang ujungnya bengkok dan tumpul. Lalu kita hadirkan dari forensik yang mengatakan tidak mungkin itu menyebabkan kematian korban. Luka yg terjadi pada korban. Permukaannya sangat mulus, sekali tebas masuk ke dalam. Barang bukti cocor bebek tidak mungkin menghasilkan luka seperti ini. Kalau celurit masih memungkinkan. Berdasarkan keterangan saksi-saksi yang lihat juga lihat pembunuh menggunakan celurit dan bukan cocor bebek,” tandasnya.

Artikel ini ditulis oleh: