Sebuah kawasan hutan terlihat gundul dan gersang akibat pembalakan di Tambu, Balesang, Donggala, Sulawesi Tengah, Minggu (1/5). Pembalakan di daerah tersebut telah merusak sedikitnya 10 hektar hutan sementara data Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sulteng menyebutkan laju kerusakan hutannya telah mencapai 18,8 ha/jam sehingga taksiran kerugian ekonomi akibat bencana yang ditimbulkan setiap tahunnya paling sedikit Rp71,9 miliar. ANTARA FOTO/Fiqman Sunandar/foc/16.

Jakarta, Aktual.com – Pemegang izin restorasi ekosistem (RE) berharap pemerintah memberikan keringanan berupa tenggang waktu pembayaran Pajak Bumi dan Bangun (PBB), karena upaya pemulihan ekosistem hutan membutuhkan banyak biaya sementara belum ada pendapatan yang diterima.

Direktur Operasi PT Restorasi Ekosistem Indonesia (REKI) Lisman Sumardjani di Jakarta, Rabu (18/10) mengatakan, keberadaan izin RE sesungguhnya menjalankan tugas negara untuk memulihkan kawasan hutan.

“Jadi kami berharap ada kebijakan terkait pembayaran pajak agar tidak memberatkan,” katanya.

PT REKI mengelola satu kelompok hutan yang populer sebagai Hutan Harapan seluas 98.555 hektare yang terbagi atas dua izin yakni seluas 52.170 hektare di Banyuasin, Sumatera Selatan dan 46.385 hektare di Batanghari dan Sarolangun, Jambi.

Hutan Harapan yang luasnya hampir setara wilayah DKI Jakarta itu selain sebagai rumah bagi 307 jenis burung juga menjadi wilayah kehidupan bagi dua satwa khas Sumatera, harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae) dan gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus).

Lisman mengungkapkan, pihaknya mengeluarkan sekitar 2-2,5 juta dolar AS setiap tahun untuk mendukung upaya restorasi hutan, termasuk untuk menjaga hutan, penanaman kembali, dan pemberdayaan masyarakat.

Kegiatan yang dilakukan itu belum bisa menghasilkan pendapatan bagi perusahaan.

Dalam kondisi tersebut, PT REKI kesulitan membayar PBB yang besarnya ratusan juta setiap tahun, tergantung tarif yang diberlakukan. Akibatnya, salah satu kantor pajak sudah mengeluarkan surat penyitaan terhadap aset dan rekening PT REKI.

Lisman pun meyayangkan terbitnya surat penyitaan aset dan rekening tersebut, sebab hal itu akan semakin mempersulit upaya restorasi hutan yang sedang dilakukan.

“Kalau pabrik disita, bisa langsung beroperasi begitu denda dibayar. Tapi kalau hutan disita, terancam perambahan dan ilegal logging dan tidak mudah dipulihkan,” katanya.

Dia menyatakan, pihaknya memahami adanya kewajiban membayar PBB bagi setiap pemegang izin pengelolaan hutan. Namun untuk izin restorasi dia berharap agar pengenaan pajak dibayar saat sudah mulai ada pendapatan.

Terkait persoalan itu, Lisman menyatakan pihaknya sudah bersurat kepada Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Selain itu, melalui Kelompok Kerja RE yang berisikan perusahaan-perusahaan pemegang izin RE, usulan juga sudah disampaikan kepada Kementerian Keuangan melalui Badan Kebijakan Fiskal.

“Tapi sampai saat ini belum ada tanggapan,” katanya.

Sampai akhir 2016, ada 15 unit Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Restorasi Ekosistem (IUPHHK-RE) dengan total luas 573.455 Ha dari alokasi seluas 1,6 juta hektare.

Kawasan Hutan Restorasi Ekosistem tersebar di Provinsi Jambi, Provinsi Sumatera Selatan, Provinsi Riau, Provinsi Bengkulu, Provinsi Kalimantan Tengah, Provinsi Kalimantan Barat, dan Provinsi Kalimantan Timur.

Meski menyandang nama IUPHHHK, namun izin RE lebih diarahkan Kementerian LHK untuk memulihkan kawasan hutan yang terdegradasi.

Artikel ini ditulis oleh:

Antara
Arbie Marwan