Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan (Aher) (tengah) berbincang dengan Dirut bank bjb Ahmad Irfan (kiri) dan Komisaris Utama bank bjb Klemi Subiantoro (kanan) saat acara RUPS bank bjb di Hotel Aryaduta, Bandung, Jawa Barat, Rabu (28/2/18). Aher mengapresiasi kinerja bank bjb di periode 2017. Bahkan progres 2017 menunjukkan prestasi signifikan pada sektor laba kotor yang mencapai Rp 2,05 triliun. Tidak hanya itu, aset bjb di 2017 pun tumbuh signifikan dibandingkan kinerja 2008 silam. Saat ini aset bjb berada di Rp108 trilyun atau jauh dari 2008 yang hanya 50 an triliun. AKTUAL/Tino Oktaviano

Jakarta, Aktual.com – Direktur Utama Bank BJB Ahmad Irfan diberhentikan dari jabatannya setelah disepakati di dalam Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) Bank bjb Tbk (BJBR) yang digelar di Hotel Aryaduta, Kota Bandung, Selasa (11/12).

Pencopotan Ahmad Irfan dari jawabatannya itu diklaim Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil sebagai langkah penyegaran di tubuh Bank BJB. Dia bersama pemegang saham lainnya ingin ada sosok baru yang bisa memaksimalkan potensi yang dimiliki Bank bjb.

Namun demikian, langkah yang diambil oleh Ridwan Kamil itu dinilai pengamat hukum korporasi Indonesia, Dewi Djalal sangat tidak sesuai dengan Undang-undang Perseroan Terbatas (UUPT), dimana dasarnya poses pemberhentian seorang Direksi PT. Padahal itu diatur jelas di dalam aturan tersebut.

“Berdasarkan UUPT wajib dilakukan pemberitahuan kepada yang bersangkutan (direksi yang mau dihentikan-red) minimal 14 hari sebelum RUPS bukan dilakukan saat RUPS,” kata Dewi melalui keterangan persnya yang diterima wartawan, Selasa (18/12).

Dalam RUPS pun, kata dia, Ahmad Irfan berhak atas Hak Jawab dan beberapa syarat formal dan material yang harus dipedomani. “Pemberitahuan dan Hak Jawab kepada Direktur yang diberhentikan di tengah masa jabatan merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan oleh Perseroan, biarpun di dalamnya ada indikasi lain,” kata dia.

Dewi mengaku heran mengapa Dirut BJB diberhentikan, mengingat perusahaan perbankan tersebut sudah menghasilkan profit cukup besar. “Melihat prospek dari luar perusahaan tersebut memiliki progres yang cukup pesat dibanding sebelumnya,” kata dia.

Menurut dia, dalam perusahaan milik pemerintah pusat atau daerah biasanya pemegang saham tidak dapat provide kepastian nama calon direksi atau komisaris, hingga last minute masih bisa berubah.

“Kalau yang maklum dan paham pada prakteknya umumnya sudah tahu harus bisa dibawa ke ranah mana, tetapi banyak juga yang protes karena mungkin concern nya masalah harga diri. Bisa saja dibicarakan baik baik. Diberhentikan dengan hormat dan diberika tunjangan purna jabatan. Jadi penjelasan harus didapat dari pemilik saham,” ujar dia.

Hal senada juga disampaikan Direktur Penilaian Bursa Efek Indonesia (BEI), I Gede Nyoman Yetna. BEI mempertanyakan pencopotan Ahmad Irfan.

“Saat informasi ada di publik, berita-berita yang ada di media massa kami coba klarifikasi untuk mendapat respons,” ujarnya.

Dia menambahkan, tidak menutup kemungkinan pihak BEI melakukan pemanggilan terhadap BJB untuk melakukan evaluasi.

“Pencopotan tersebut belum diketahui apakah sudah sesuai dengan prosedur di BEI atau tidak. BEI akan menanyakan lebih lanjut atas pencopotan dirut BJB agar dapat memastikan apakah pencopotan sudah sesuai prosedur,” kata dia.