Jakarta, Aktual.com- Pendaftaran tanah di seluruh Indonesia dalam rangka percepatan penetapan desa lengkap termasuk di kawasan hutan harus mempertimbangkan kebijakan dan pendekatan berdasarkan prioritas dan kemanfaatan masyarakat.
Hal ini karena semua kebijakan pengelolaan sumber daya agraria harus berpedoman pada Undang-Undang Dasar 45 pasal 33 yakni segala alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
“Dalam penetapan arah kebijakan ini terdapat dua variabel penting yakni hak menguasai negara dan bagaimana menggunakan hak dari negara untuk dipergunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat,” kata Direktur Jenderal Penataan Agraria Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional Andi TenrisauĀ dalam acara webinar di Jakarta, Sabtu..
Karena itu, katanya, pendaftaran tanah di seluruh Indonesia mempunyai tujuan untuk mengatur dan menjamin kepastian hukum bagi rakyat yang mengelolanya.
Selain itu, pendaftaran tanah tidak harus hanya dimaknai pada wilayah areal penggunaan lain (APL) saja, tetapi seluruh wilayah Indonesia termasuk kawasan hutan.
Hal ini, karena berdasarkan Keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34, 45, dan 95, negara harus mengakui adanya hak-hak adat dalam kawasan hutan serta adanya kegiatan turun-temurun dalam kawasan hutan.
Sementara itu, dalam Pasal 45 dengan jelas dikatakan definisi kawasan hutan adalah kawasan yang ditetapkan pemerintah dan bukan lagi yang ditunjuk.
Jadi, pada intinya, ketika ada satu desa masuk dalam kawasan hutan, harus dimaknai dengan benar apa saja hak-hak masyarakat yang ada di dalamnya.
Pertama, harus diteliti tentang kemungkinan adanya hak-hak masyarakat di dalam kawasan hutan. Kemungkinan bisa saja ada hak masyarakat seperti HGU, HGB, hak ulayat, atau hak-hal lain.
“Semua itu harus diidentifikasi dengan baik dan jika terbukti ada hak masyarakat, maka harus dikeluarkan. Baru setelah itu dilakukan penetapan. Dalam melakukan penetapan itu tetap harus berpedoman pada aturan hukum positif,” kata Andi.
Pendapat senada dikemukakan Koordinator Divisi Riset Kebijakan dan Advokasi Relawan Jaringan Rimbawan Petrus Gunarso.
Menurut Petrus, desa-desa dan lahan penghidupan masyarakatnya berikut bidang-bidang tanah masyarakat yang mempunyai dasar legalitas berasal dari pemerintah yang jelas seperti surat keterangan tanah (SKT), hak milik (HM), hak guna usaha (HGU), dan hak guna bangunan (HGB) harus dihormati dan dikeluarkan dari status dalam kawasan hutan.
Hal ini karena desa-desa dan bidang-bidang tanah tersebut mempunyai dasar legalitas yang jelas dari peraturan perundangan yang berlaku di NKRI.
Menurut Petrus, jika masyarakat mempunyai kejelasan hukum mengenai legalitas desa dan bidang tanah masyarakat, hal ini bisa menjadi kesempatan bagi negara untuk membuka dan menumbuhkembangkan lapangan kerja.
Pengakuan ini akan memberi kenyamanan bagi masyarakat, sehingga kegiatan usaha masyarakat berjalan ekonomi berputar dinamis.
Hal ini akan meningkatkan penerimaan pajak dan terciptanya stabilitas sosial-keamanan. Kondisi seperti ini juga akan berkontribusi pada pembangunan berkelanjutan untuk mewujudkan masyarakat makmur dan sejahtera.
Pengamat hukum kehutanan Sadino menilai program desa merdeka hingga saat ini masih sebatas retorika. Faktanya, hingga kini desa-desa terutama yang berada di kawasan hutan masih menjadi desa nelangsa.
Faktanya hingga saat ini masih ribuan desa berstatus ilegal, tidak definitif, dan terkendala untuk menjadi mandiri dan maju. Padahal, masyarakatnya sudah puluhan bahkan ratusan tahun tinggal secara turun temurun dan sudah puluhan tahun berstatus ilegal.
Hal ini, kata Sadino, karena persoalan ego sektoral antara lembaga yang hingga saat ini tidak pernah terselesaikan.
Sadino menyarankan KPK juga perlu meneliti persoalan tumpang tindih aturan dan mencari solusinya.
(Antara)
Artikel ini ditulis oleh:
Arie Saputra