Dia mengibaratkan pemerintah pusat telah memberikan motor dengan kapasitas mesin yang besar namun motor itu tidak dipergunakan dengan baik untuk mempercepat pembangunan empat sektor tersebut.
Dia menganalogikan antara Jakarta dan Provinsi Papua. Kedua provinsi itu kini mempunyai kapasitas anggaran yang sama besar. Namun yang terjadi, sejak 2002 pembangunan Papua justru tidak berjalan.
“Ini enggak baik, dan kita terlambat. Saya ambil contoh mengambil indeks pembangunan manusia (IPM) yang terdiri angka kelangsungan hidup, kedua pengetahuan, tiga standar hidup. Tapi pada 2012 lalu, Papua mengalami penurunan dalam indek pembanguan manusia itu 60 persen. Dan itu berbeda jauh sekali dengan DKI Jakarta dan Yogyakarta,” jelasnya.
Kondisi ini, tentu berbanding terbalik dengan dana yang sudah mengucur untuk Papua.
Ali menduga kondisi tersebut lantaran tidak ada pengawasan penggunaan dana otsus secara serius. “Ini harus menjadi pekerjaan rumah bersama,” kata dia.
Karena itu, bila ada yang menilai program dana otsus itu gagal, sebaiknya dipertanyakan ke orang-orang Papua yang diberi wewenang penuh mengelola dana tersebut.
“Sehingga apabila itu gagal, maka yang patut disalahkan adalah orang Papua sendiri. Untuk itu saya pikir negara harus hadir untuk memberantas penyalahgunaan anggaran yang secara masif di tanah Papua,” ungkap dia.
Ali mengingatkan, pemerintah pusat, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak hanya berwacana dalam menangani dugaan korupsi dana otsus ini.
“Negara harus hadir di Papua. Nah hadirnya pemerintah apa, untuk memberantas korupsi di Papua,” kata dia.
Terlebih lagi berdasarkan hasil pemeriksan BPK, banyak temuan penyalahgunaan anggaran Otda dan Otsus untuk Papua. Seperti kasus korupsi oleh simpatisan Papua Merdeka. “Disini saya mencatat kasus Martinus Wanda Mani, Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan, berikutnya korupsi dana hibah tahun anggaran 2017,” jelasnya.
Senada dengan Ali, tokoh senior Papua Freddy Numberi mengatakan, harapan masyarakat Papua atas temuan korupsi itu tentunya adalah penegakan hukum. Bila penegakan hukum tak berjalan akan berpengaruh kepada kepercayaan masyarakat Papua terhadap pemerintah.
“Pertanyaan masyarakat, bagaimana Polri melakukan tindakan-tindakan terhadap yang melakukan korupsi itu. Karena bagaimanapun penegakan hukum harus tetap berjalan,” ungkap Freddy .
Freddy menganggap, bila penanganan tindak pidana korupsi Otsus Papua itu tidak berjalan, maka akan berpengaruh kepada kepercayaan publik terhadap Pemerintah.
“Dimana banyak kasus korupsi yang menurut Orang Asli Papua (OAP) tidak jelas penyelesainnya. Bahkan bagi OAP terkesan adanya oligarki, kolusi dan nepotisme,” kata dia.
Ditambah lagi, lanjut dia, masalah bidang keamanan dan ketertiban masyarakat, yang cenderung pemerintah menggunakan pendekatan keamanan, sehingga selama ini menimbulkan benturan dan konflik yang berujung kepada ketidakpuasan rakyat terhadap pemerintah.
Menurut Freddy, masih ada rasa curiga antara Papua dan Jakarta. Pemerintah pusat, imbuh Freddy, dianggap tidak berhasil merebut hati dan pikiran orang asli Papua sebagai bagian integral dari Bangsa Indonesia.
Namun demikian, hadirnya Pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) bisa mengubah pendekatan keamanan menjadi pendekatan antropologis, dengan terus melibatkan dan mendengarkan masyarakat.
“Pendekatan kesejahteraan dengan terus menggenjot pembangunan untuk meningkatkan konektivitas yang berujung pada peningkatan kesejahteraan dan pendekatan evaluatif dengan secara ketat mengawasi pembanguan di Papua lewat kunjungan kerja setiap tahunnya,” jelas dia.
Lenis Kogoya, Staf Khusus Presiden menambahkan, ada tiga konsep dalam melihat Papua. Pertama adalah melihat masa lalu Papua, Kedua adalah masa saat ini, dan masa depan Papua.
“Tiga pokok ini adalah yang pertama kenapa dan mengapa dan Otsus itu ada. Lahirnya Otsus karena orang Papua minta mau merdeka, harus lepas, tanpa orang tua, tanpa papah, dan hidup mandiri. Itulah lahirnya Otsus,” kata Lenis.
Lenis menambahkan, di dalam Otsus itu sendiri ada tiga hal pokok yang harus diketahui yakni hak kewenangan, hak politik, dan hak ekonomi. Nah, bila bicara soal hak kewenangan adalah Gubernur dan Wakil Gubernur yang merupakan orang asli Papua.
“Gubernur dan Bupati sekarang semua adalah orang Papua, tapi tahun ini beda lagi, masuk dalam politik, nah ini menyangkut hak dan kewenangan. Di dalam kewenangan itu ada Gubernur dan Wakil orang Papua,” kata dia.
Kemudian hak politik, di situ kata dia, Papua adanya parpol seperti halnya di Aceh yang kemudian melebur dengan Parpol. Selanjutnya adalah hak ekonomi, menurutnya, uang yang digelontorkan oleh Pemerintah dengan nominal triliunan itu digunakan untuk apa?
Lenis memastikan, sudah semestinya hukum ditegakkan demi kesejahteraan Papua. Masyarakat Papua tidak boleh apatis dan menganggap Otsus tidak pro rakyat sebelum diadakan evaluasi dan investigasi. Perlakuan hukum yang sama harus diberikan oleh siapa saja yang terbukti melakukan penyelewengan tanpa membiarkan elit-elit koruptor bersembunyi di belakang isu pergolakan politik lokal.
Artikel ini ditulis oleh:
Zaenal Arifin