Jakarta, Aktual.com – Turunnya CPI atau Corruption Perception Index yang telah dirilis TII harus menjadi perhatian dan tanggungjawab bersama. Hal itu disampaikan peneliti dari LSAK Hariri.
“Namun, tidak perlu tergopoh-gopoh dan bersikap inlander menyikapi hal tersebut,” kata peneliti LSAK Hariri dalam keterangannya, Kamis (2/2).
Dari faktor-faktor yang dinilai, seperti sektor pelayanan publik, perijinan usaha, kepastian hukum, iklim ivestasi, democracy, law enforcement, political, kata ia, menunjukkan banyak stakeholder yang bertanggungjawab dan punya peran signifikan terhadap CPI.
“Aneh kalau berdasarkan CPI tetiba ada yang hanya menyudutkan negatif lembaga penegakan hukum,” jelas Hariri.
Padahal, kata Hariri, CPI terendah juga pernah terjadi di tahun 2012, dengan nilai lebih rendah pada saat ini, sebesar 32 point.
“Waktu itu nggak ada yang ribut termasuk Novel, diam aja. Pimpinan BW, AS kemana. Saat tahun 2012 kemana mereka?” Jelas Hariri.
Persoalan korupsi seperti pungli di pelayanan publik masih marak, tambang illegal masih menjamur, suap perijinan masih banyak, urus izin usaha masih ada suap, termasuk modus kelebihan bayar di DKI Jakarta.
“Itu kan korupsi. Harusnya itu bagian dari tanggungjawab bersama dalam pemberantasan korupsi sehingga CPI kita baik,” jelasnya.
Jadi, lanjut Hariri, bila betul-betul murni ingin pemberantasan korupsi, seharusnya dukung KPK mengungkap segala TPK, termasuk kasus Formula E. Jangan malah selama ini malah melindungi.
CPI sebagai salah satu indikator pemberantasan korupsi, menjadi bahan evaluasi bersama. Langkah perbaikan dan terobosan kebijakan harus ada skala prioritas, seperti pengesahan RUU perampasan aset koruptor.
Artikel ini ditulis oleh:
Wisnu