Jakarta, aktual.com – Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Galuh Octania menyatakan bila pemerintah fokus terhadap penanganan cyber crime atau kejahatan di dunia maya, maka ke depannya juga akan meningkatkan sumbangsih atau peran kontribusi sektor e-commerce terhadap perekonomian nasional.
“Masih ada juga masyarakat yang masih skeptis terhadap kehadiran perdagangan elektronik. Hal ini dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti ketakutan akan ditipu oleh penjual yang ternyata tidak menjual barang sesuai kebutuhan, ragu jika barang pesanan tidak akan sampai, ragu akan keaslian produk penjualan, dan dalam beberapa kasus, masih banyak masyarakat yang tidak paham cara memesan produk lewat sistem daring,” kata Galuh Octania dalam rilis di Jakarta, Minggu (9/6).
Menurut Galuh, hal tersebut juga mengakibatkan tidak sedikit masyarakat yang masih memilih untuk datang langsung melihat barang dan bertatap muka dengan penjual.
Untuk itu, ujar dia, pemerintah perlu memperhatikan kemudahan dan keamanan dalam berbelanja dan bertransaksi daring.
“Sudah ada peraturan yang mengatur perlindungan konsumen dalam transaksi elektronik, di antaranya Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dan Peraturan Pemerintah nomor Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik (PP PSTE). Namun, keduanya belum secara khusus menerangkan mengenai perdagangan elektronik,” paparnya.
Selain itu, ia menegaskan bahwa transaksi keuangan daring dapat menjadi salah satu alternatif pemerintah untuk dapat meningkatkan financial inclusion yang merupakan suatu bentuk pendalaman layanan keuangan dengan menggunakan digitalisasi.
Galuh berpendapat bahwa komitmen pemerintah dalam mengatur perdagangan elektronik juga sudah nampak dari penyusunan Rancangan Peraturan Pemerintah Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (RPP PMSE). Namun hingga saat ini belum ada kabar lebih lanjut dari pengesahan RPP PMSE tersebut.
Peraturan yang secara khusus mengatur mengenai perdagangan melalui sistem elektronik ini dinilai dapat menjadi pedoman bagi pelaku usaha maupun konsumen dalam melakukan transaksi elektronik.
“Pada akhirnya, perdagangan elektronik di Indonesia yang terus berpotensi untuk berkembang pesat harus juga diiringi dengan peraturan yang jelas untuk dapat memberikan kepercayaan baik bagi konsumen maupun pelaku usaha itu sendiri,” katanya.
Ia menyatakan dengan adanya peraturan yang jelas, bukan tidak mungkin dalam waktu dekat kepercayaan masyarakat akan meningkat dan kemudian beralih untuk memilih berbelanja lewat platform ini melalui komputer atau ponsel pintar milik mereka masing-masing.
Sebelumnya, Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) mencatat jumlah pengguna Internet di Tanah Air pada 2018 mencapai 171 juta orang dari total penduduk Indonesia sebanyak 264 juta jiwa.
APJII juga mencatat pertumbuhan pengguna Internet sebanyak 27,9 juta atau 10,12 persen dalam setahun. Berdasarkan data di lapangan, Jawa masih menjadi penyumbang terbesar pengguna Internet, sebanyak 55 persen, disusul Sumatera 21 persen.
Kemudian, persentase pengguna Internet di Kalimantan mencapai 9 persen, sementara Bali dan Nusa Tenggara 5 persen. Lalu, Sulawesi-Maluku-Papua berkontribusi 10 persen dari total seluruh pengguna Internet di Indonesia.
Ant.
Artikel ini ditulis oleh:
Zaenal Arifin