Jakarta, aktual.com – Peneliti senior dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Siti Zuhro mengingatkan kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU) menjaga integritas dalam menyelenggarakan Pemilu 2019 yang berlangsung pada 17 April.
“KPU harus sadar dan sangat hati-hati di saat bangsa Indonesia mengalami keterbelahan,” kata Siti dalam sebuah diskusi di Jakarta, Selasa (26/2).
Ia mengaku pernah punya pengalaman menjadi tim panitia pelaksana untuk memilih komisioner KPU pada masa pemerintahan Presiden Ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Oleh karena itu, ia menekankan agar penyelenggara Pemilu harus menjaga netralitas dan profesionalitasnya. “Semangat saya di eranya Pak SBY sampai saya ikut jadi keynote speaker di televisi bagaimana peran KPU dan Bawaslu sebagai penyelenggara agar netral dan profesional,” ujarnya.
Siti meminta kepada masyarakat untuk berhati-hati dengan tidak menganggap penyelenggara pemilu sebagai partisan. Menurut dia, masyarakat perlu menjaga kecurangan pemilu dengan memahami Peraturan KPU (PKPU.
“Kita enggak boleh dan hati-hati sebut KPU dan Bawaslu partisan, karena kita suka ini dan enggak suka itu. PKPU harus dibaca dengan cermat agar tidak ada pelanggaran-pelanggaran yang tidak perlu,” paparnya.
Dalam kesempatan itu, Siti juga menyinggung pelaksanaan debat kedua Pilpres 2019, dimana masyarakat harus mendapatkan informasi yang jernih dan objektif. Terlebih jika sudah dikaitkan dengan data dan fakta. Ia melihat kubu petahana seringkali keliru menyampaikan data dan sering menyerang penantang.
“Kita melihat bahwa PKPU sudah sangat jelas menerangkan apa yang boleh disampaikan dan apa yang dilarang. Di debat kedua, mungkin secara teknis oke, namun waktunya sangat sempit hanya dua menit. Sehingga, Pak Prabowo tidak mampu luwes menyampaikan gagasannya,” ujarnya.
Ia juga mengkritik ketidaktegasan KPU dalam kontestasi Pemilu 2019. Hal itu terlihat dari beberapa kali serangan petahana terhadap pribadi Prabowo Subianto dalam debat pilpres. Padahal, sebagai penyelenggara pemilu KPU diharapkan mampu bersikap objektif dan tidak berpihak terhadap salah satu pihak.
“Karena itu, debat ketiga nanti harus dapat mencerahkan dan menginspirasi. Apalagi yang berkaitan dengan urusan privat. Jangan menggunakan cara-cara mencemooh dan menjatuhkan,” tuturnya. Ia menambahkan, seorang pemimpin, negarawan, harus berani menyampaikan permohonan maaf jika paparan data yang disampaikan salah. Debat kedua, kata dia, menjadi pelajaran bahwa keliru angka merupakan persoalan yang serius hingga melahirkan polemik yang berkepanjangan.
“Pemilu kita harus naik kelas, kita wujudkan dalam sikap politik kita masing-masing. Saya melihat pemilu ini merupakan pemilu paling `riweuh karena dua pemilu digabungkan secara serentak,” kata Siti.
Selain Siti Zuhro, diskusi yang digelar Seknas Prabowo-Sandi setiap pekan itu juga dihadiri sejumlah pembicara lainnya. Di antaranya mantan Ketua Komnas HAM Hafidz Abbas, dosen dan pengamat Tony Rosyid, Ketua DPP Partai Gerindra Habiburrokhman, dan dosen Beti Nurbaiti.
Ant.
Artikel ini ditulis oleh:
Zaenal Arifin