Siswa memasukkan surat suara saat mengikuti simulasi pencoblosan Pemilihan Wali Kota (Pilwalkot) Yogyakarta di pendopo SMA Negeri Yogyakarta, DI Yogyakarta, Jumat (13/1). Kegiatan yang digelar oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) kota Yogyakarta tersebut untuk memperkenalkan pemilu serta sebagai pendidikan politik bagi pemilih pemula agar cerdas dalam menggunakan hak pilih dan menolak politik uang menjelang Pilwalkot pada Februari 2017. ANTARA FOTO/Hendra Nurdiyansyah/pd/17.

Jakarta, Aktual.com – Peneliti senior Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Syamsudin Haris, menyatakan bahwa pemerintah tidak memiliki posisi yang jelas dalam pembahasan Rancangan Undang-undang (RUU) Pemilu yang sedang digodok DPR.

“Pemerintah kita sejak awal tidak memiliki posisi politik yang jelas dalam UU Pemilu ini. Pemerintah Jokowi-JK ini mestinya mempunyai posisi politik dalam mendesain kehidupan politik yg lebih baik, efektif dan demokratis,” katanya di Jakarta, Kamis (2/3).

Berbicara dalam diskusi ‘Merespon Pembahasan RUU Pemilu: Mewujudkan RUU Pemilu yang Adil dan Proporsional’ yang digelar Wahid Institute, Syamsudin Haris menyebut ada empat poin yang dapat dijadikan parameter kualitas UU Pemilu.

Keempat parameter itu adalah insentif terhadap peningkatan kualitas pemilu, kedua insetif terhadap peningkatan kualitas pelembagaan politik, ketiga insentif terhadap peningkatan kualitas demokrasi dan terakhir insentif terhadap peningkatan efektivitas dalam sistem politik.

Parameter itulah yang tidak dilihat Syamsudin dalam RUU Pemilu yang diusulkan pemerintah. Padahal pemilu yang demokratis dan representatif sudah tertuang secara tidak langsung dalam nawacita sebagai visi yang digaungkan Jokowi.

“Pemerintah kita punya koalisi pendukung yang mestinya dimanfaatkan untuk mengegolkan UU Pemilu. Jangan RUU Pemilu ini dilempar kepada DPR dan akhirnya menjadi bancakan bagi politikus DPR dan mengorbankan kepentingan bangsa ini,” demikian Syamsudin Haris.

(Teuku Wildan)

Artikel ini ditulis oleh: