Jakarta, Aktual.com – Peneliti Senior Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Syamsuddin Haris, menyatakan peningkatan subsidi negara bagi partai politik adalah suatu keniscayaan.
“Suatu keniscayaan dalam kaitan dengan upaya mengambil alih kepemilikan parpol dari individu-individu pemilik modal. Bagaimana partai politik kita yang sebagian besar saat ini dikuasai oleh individu-individu pemilik modal atau pemilik uang diambil alih dan dimiliki oleh anggota,” kata Syamsuddin dalam diskusi “Seluk-Beluk Pengelolaan Keuangan Partai” di gedung KPK, Jakarta, Kamis (3/8).
Hal tersebut, kata dia, juga diperjelas dalam Undang-Undang Partai Politik yang mengatakan kedaulatan partai politik ada di tangan anggotanya dan itu mesti dikembalikan lagi.
“Salah satu caranya adalah dengan meningkatkan subsidi negara. Kalau membandingan dengan banyak negara lain juga tidak sama. Satu negara dengan negara lainnya ada yang disubsidi, ada yang tidak disubsidi. Kalau yang disubsidi, ada yang disubsidi besar, ada yang kecil. Ada yang mendekati 100 persen, ada yang juga mendekati 10 sampai 0 persen,” tuturnya.
Namun, kata dia, Indonesia mesti kembali pada pengalaman, karena bagaimana pun sulit dibantah partai politik adalah institusi yang penting, tetapi di sisi lain partai politik itu institusi yang sangat tergantung pada pemilik modal.
“Sulit dibantah saat ini partai politik itu semacam perusahaan pribadi milik individu-individu. Bila memang partai politik ini dimiliki oleh individu-individu pemodal maka ini tidak sehat,” ujarnya.
Menurut dia, bagaimana mungkin partai politik bisa menghasilkan pejabat publik yang akuntabel dan tidak menjadi pasien KPK jika partai politik dikuasai oleh individi-individu tersebut.
“Saya mendengar banyak pengalaman tokoh kita yang posisinya penting di partai politik. Namun begitu berhadapan dengan hukum atau sang pemilik modal tidak bisa berkutik. Jangankan berbeda pendapat, menyinggung personal ketua umum pun tidak berani diungkapkan,” ucap Syamsuddin.
Secara objektif, menurut dia, partai politik memang membutuhkan biaya, di mana dalam studi Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) nilai subsidi negara itu hanya 1,3 persen dari kebutuhan partai politik per tahun.
“Angka tersebut pun sebagian dipandang terlalu tinggi, jadi angka yang sekarang tidak masuk akal,” tuturnya.
Namun, kata dia, hal lain yang perlu diingat bahwa sebagian besar “pasien” KPK adalah politisi dari partai politik.
“Begitu juga survei yang dilakukan Transparansi Internasional yang menyatakan partai politik adalah salah satu lembaga yang paling korup selain Kepolisian dan Kejaksaan,” kata Syamsuddin.
Ia pun mengusulkan 40 persen saja dari subsidi pemerintah untuk kebutuhan partai politik pertahun itu.
“KPK usulkan 50 persen, kalau saya usulkan 40 persen saja. Angka tersebut baik bagi partai politik agar masih ada ruang untuk otonomi secara finansial tidak di”suapin” sepenuhnya oleh negara sehingga angka 40 persen adalah angka maksimal,” ucap Syamsuddin.
Kemudian, kata dia, subisidi 40 persen itu pun skemanya tidak mesti dalam bentuk uang tunai karena bisa juga dengan biaya kampanye yang ditanggung oleh negara.
“Itu skema yang pertama, skema yang kedua 40 persen itu dipenuhi dalam jangka waktu tertentu. Apa dalam satu pemilu atau dua pemilu,” kata dia.
Selanjutnya, skema ketiga mesti ada syarat tata kelolanya karena kalau tidak, berarti memberikan “cek kosong” pada partai politik.
“Tata kelola mesti ada standarnya, keuangan yang baik dengan pengawasan dan bimbingan BPK dan KPK. Dan itu mesti ada syarat alokasi bahwa uang 40 persen itu hanya untuk pendidikan politik, kaderisasi, rekrutmen atau pembiayaan kantor partai,” ujarnya.
Kemudian syarat yang penting, kata Syamsuddin, partai politik yang bisa menerima subsidi itu wajib memiliki standar kode etik disertai ada lembaga penegakan etik.
“Kalau revisi PP Nomor 5 Tahun 2009 dilakukan ini mesti masuk. Jadi, mesti ada standar etik,” katanya.
Revisi PP Nomor 5 Tahun 2009 untuk meningkatkan alokasi atau bantuan keuangan negara untuk Parpol dengan syarat untuk, pertama menyusun dan melaksanakan program rekrutmen dan kaderisasi yang baik, kedua penyusunan dan pelaksanaan kode etik politisi, ketiga pelaksanaan pendidikan politik kepada masyarakat, dan keempat pembenahan kelembagaan serta tata kelola keuangan agar Parpol menjadi transparan dan akuntabel.
Ant.
Artikel ini ditulis oleh: