Jakarta, Aktual.co — Peneliti Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen, Fakultas Ekologi Manusia, IPB, Prof Euis Sunarti, MS mengatakan, keluarga yang tinggal di perkotaan dan di perdesaan sama-sama merasakan tekanan ekonomi serta mempengaruhi kesejahteraan.
Prof Euis Sunarti, MS mengatakan, pihaknya melakukan penelitian dengan tujuan menganalisis perbedaan tekanan ekonomi dan kesejahteraan objektif tipologi perdesaan dan perkotaan.
“Hasil analisis ini menunjukkan tidak terdapat perbedaan tekanan ekonomi dan kesejahteraan keluarga yang tinggal di wilayah perdesaan dan perkotaan,” kata kepada wartawan, Senin (15/12)
Ia menjelaskan, keluarga adalah institusi sosial terkecil, institusi utama dan pertama dalam pembangunan karakter sumber daya manusia Indonesia. Terdapat berbagai masalah jika dilakukan kajian tentang keluarga.
“Salah satunya adalah kesejahteraan keluarga,” ujarnya.
Dikatakannya, peningkatan kesejahteraan keluarga masih harus dilakukan di Indonesia, mengingat data dari Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) tahun 2011, terdapat 43,87 persen keluarga terkategori prasejahtera dan keluarga sejahtera (KS) 1, atau keluarga yang telah dapat memenuhi kebutuhan dasarnya secara minimal.
Berbagai penelitian, lanjutnya, masih harus dikembangkan guna memperkaya data yang dapat mendorong pemerintah meningkatkan efektivitas program untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
“Selain tidak ada perbedaan tekanan ekonomi yang dirasakan masyarakat perdesaan dan perkotaan. Begitu juga, tidak ada pengaruh antara tipologi wilayah di mana keluarga tinggal terhadap kesejahteraan keluarga objektif,” katanya.
Menurutnya, tidak berbedanya pemenuhan kesejahteraan objektif di wilayah perdesaan dan perkotaan, diduga karena tidak terdapat perbedaan signifikan fasilitas dan infrastruktur wilayah perdesaan dan perkotaan untuk memenuhi ukuran kesejahteraan yang digunakan.
Lebih lanjut ia menjelaskan, terdapat dua kategori pengukuran kesejahteraan yaitu kesejahteraan subjektif dan objektif. Kesejahteraan subjektif memfokuskan pada persepsi kepuasan pemenuhan kebutuhan dasar. Sedangkan kesejahteraan objektif menekankan pada kebutuhan dasar menurut standar kecukupan normatif.
Sementara itu, yang dimaksud wilayah perdesaan adalah wilayah yang masih memiliki banyak lahan pertanian dan kegiatan utama masyarakatnya di sektor pertanian. Sedangkan wilayah perkotaan memiliki lahan pertanian relatif sedikit, dan warganya bermata pencaharian di bidang non pertanian.
“Tingkat rata-rata kemahalan biaya hidup di wilayah perkotaan dan perdesaan pun tidak berbedah jauh,” ujarnya.
Dikatakannya, dalam “proceeding-nya hingga batas waktu tertentu, tersedia fasilitas dimana keluarga perkotaan dan perdesaan dapat mengakses pemenuhan kebutuhan keluarga berupa pasar, pusat kesehatan masyarakat (Puskesmas) dan sekolah, selama memiliki sumber daya ekonomi.
Secara kuantitas, lanjutnya, kebutuhan keluarga minimum sudah terpenuhi. Kesejahteraan objektif keluarga dipengaruhi rasio pengeluaran terhadap pendapatan, kehilangan pendapatan yang dialami keluarga dan rasio pendapatan terhadap kebutuhan hidup layak.
Menurutnya, faktor laten terkait karakteristik keluarga yang berpengaruh terhadap kesejahteraan objektif keluarga adalah lama pendidikan suami, hal ini berpengaruh positif terhadap kesejahteraan objektif keluarga.
“Besarnya jumlah anggota keluarga berpengaruh negatif terhadap kesejahteraan objektif keluarga,” katanya.
Prof Euis menambahkan, dari penelitian tersebut juga menunjukkan keterlibatan istri dalam mencari nafkah (dual earner family) dapat dimaknai sebagai upaya untuk memenuhi kebutuhan dasar keluarga.
Terdapat juga hal menarik yang perlu dielaborasi yaitu, adanya pengaruh negatif dari penambahan pencari nafkah di keluarga dengan kesejahteraan objektif keluarga.
“Ini menunjukkan keterlibatan istri bekerja dalam meningkatkan pendapatan untuk memenuhi kebutuhan pokok keluarga, karena pendapatan suami semata tidak memenuhi kesejahteraan objektif keluarga,” ujarnya.
Artikel ini ditulis oleh:
Andy Abdul Hamid

















