Koperasi RTBS unjuk penerapan mekanisasi alat pertanian pada Wakil Menteri Pertanian (Wamentan) Harvick Hasnul Qolbi yang didampingi oleh Wakil Gubernur Pekanbaru, Edy Nasution serta Walikota Pekanbaru, Firdaus juga sejumlah tokoh dan pejabat bidang pertanian dilahan yang dikelola oleh Koperasi Tani Berkah Sejahtera (RTBS) di kawasan Agrowisata, Pekanbaru, Riau, Senin (21/6) siang. Foto: Warnoto/Aktual.com
Koperasi RTBS unjuk penerapan mekanisasi alat pertanian pada Wakil Menteri Pertanian (Wamentan) Harvick Hasnul Qolbi yang didampingi oleh Wakil Gubernur Pekanbaru, Edy Nasution serta Walikota Pekanbaru, Firdaus juga sejumlah tokoh dan pejabat bidang pertanian dilahan yang dikelola oleh Koperasi Tani Berkah Sejahtera (RTBS) di kawasan Agrowisata, Pekanbaru, Riau, Senin (21/6) siang. Foto: Warnoto/Aktual.com

Jakarta, Aktual.com – Kepala Penelitian Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Felippa Ann Amanta menekankan pentingnya melakukan transformasi atau pengubahan sistem pangan di Tanah Air, antara lain dengan memperbanyak mekanisasi produksi pertanian secara lebih presisi.

“Idealnya Indonesia mengadopsi cara bercocok tanam yang lebih efisien dan berkelanjutan, seperti dengan mekanisasi pertanian, precision farming berbasis data yang kuat,” kata Felippa Ann Amanta dalam keterangan tertulis di Jakarta, Jumat (5/11).

Selain mekanisasi pertanian dengan data yang presisi, lanjutnya, maka cara pertanian berkelanjutan tersebut juga bisa diperkuat dengan pertanian organik dan pengendalian hama terpadu.

Apalagi, ia mengingatkan sektor pertanian sangat rentan terdampak krisis iklim sehingga diperlukan adanya transformasi sistem pangan Indonesia ke arah yang lebih berkelanjutan untuk memitigasi risiko krisis iklim dan memastikan terjaganya ketahanan pangan nasional.

“Pertanian memang berkontribusi pada krisis iklim, terutama karena penggunaan lahan atau pencemaran akibat penggunaan pupuk berlebihan. Sebaliknya, pertanian juga sangat terdampak dari krisis iklim, karena meningkatnya cuaca ekstrim, kemarau berkepanjangan, dan degradasi lahan juga mempengaruhi produksi,” ujar Felippa.

Ia menekankan pula bahwa praktik budidaya yang berkelanjutan dapat meningkatkan daya saing produk pertanian Indonesia. Sebagai contoh, permintaan pasar global untuk kakao atau kopi yang bersertifikasi berkelanjutan semakin meningkat.

“Perdagangan pangan internasional juga dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan ketahanan pangan. Kebijakan swasembada yang proteksionis dan menutup akses pada impor dapat berkontribusi pada peningkatan emisi gas rumah kaca akibat aktivitas pertanian yang tidak efisien, seperti konversi lahan untuk lumbung pangan yang masif untuk menekan emisi dan memastikan stabilitas ketahanan pangan pemerintah juga perlu mendorong diversifikasi sumber pangan dan sistem pertanian,” paparnya.

Alih-alih menutup akses pada impor, menurut dia, pemerintah perlu mempermudah akses petani kepada faktor produksi, seperti benih yang berkualitas.

Pemerintah, lanjutnya, juga dapat memberdayakan riset dan pengembangan bibit varietas unggul, serta bekerjasama dengan pihak swasta dalam proses modernisasi pertanian.

Artikel ini ditulis oleh:

Reporter: Antara
Editor: A. Hilmi