Direktur Eksekutif Center For Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo (kiri) bersama Direktur Utama DIM Prihatmo Hari Mulyanto (kanan) serta dipandu Kepala Divisi Risk Management, Audit and Compliance PT Danareksa Investment Management (DIM) Tunggul Manurung saat sosialisasi amnesti pajak di Jakarta, Rabu (21/9/2016). DIM mendukung program amnesti pajak dengan menawarkan berbagai produk pilihan investasi dan berkomitmen penuh mendukung pemerintah dalam menjalankan program amnesti pajak serta mengelar Sosialisasi untuk memberikan pemahaman yang lebih mendalam mengenai proses amnesti pajak.

Jakarta, Aktual.com – Beberapa hari ini, diramaikan soal keluhan seorang penulis kondang, Tere Liye, yang merasakan ketidakadilan pajak atas profesi penulis. Dengan emosional, Tere Liye memutuskan menarik seluruh penjualan bukunya dari toko buku dan akan menjual secara online.

Menurut pengamat pajak dari Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA), Yustinus Prastowo, penulis adalah profesi yang diakui di administrasi pajak sebagai pekerja bebas, maka boleh menghitung pajak dengan Norma Penghitungan Penghasilan Neto.

“Intinya, penulis yang penghasilan setahun tidak melebihi Rp4,8 M boleh menggunakan ini, dan penghasilan netonya diakui (deemed) sebesar 50 persen, baru dikurangi PTKP (Penghasilan Tidak Kena Pajak) dan dikenai pajak sesuai tarif berlaku,” kata Yustinus di Jakarta, Rabu (6/9).

Namun begitu, kata dia, pangkal masalahnya adalah pada masalah Pajak Penghasian (PPh) Pasal 23 atas royalti penulis buku, yang dipotong 15 persen atas jumlah bruto.

“Memang kejam ya? Saya setuju. Padahal umumnya jatah royalti penulis itu 10 persen dari penjualan, cukup kecil,” kata dia.

Jika tarifnya itu sebesar 15 persen, maka berlaku untuk rentang penghasilan kena pajak antara Rp150 juta – Rp250 juta, maka sang penulis setidaknya setara mendapat penghasilan jual buku sekitar Rp1,5 M-Rp 2,5 M.

“Andai satu buku harganya Rp100 ribu, maka lebih kurang harus menjual 15 ribu eksemplar. Itu fantastis!” ungkap dia.

Pasalnya, jumlah potongan pajak lebih besar dibanding kewajiban pajak tahunan, maka para penulis berpotensi lebih bayar di akhir tahun.

“Saya kebetulan penulis juga meski bukan profesi utama, klasifikasi usaha saya peneliti. Kemalangan saya berganda. Saya tak boleh menggunakan norma sehingga jumlah lebih bayar bisa lebih kecil,” jelas dia.

Untuk itu, menurut Direktur Eksekutif CITA ini, dirinya sepakat tarif PPh pemotongan untuk royalti penulis sebaiknya diturunkan, supaya lebih fair, masuk akal, dan membantu cash flow penulis.

“Apalagi pembayaran royalti biasanya berkala, semesteran. Di sinilah isu fairness relevan. Hak mengkreditkan sebenarnya sudah bagus, terlebih jika diimbangi restitusi yang lebih mudah dan cepat,” jelas dia.
Laporan: Busthomi

Artikel ini ditulis oleh: